Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Jatuhnya Kemapanan Hidup Petani di Asia Tenggara

4 Juli 2019   16:40 Diperbarui: 22 Juli 2019   08:26 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Topik ekonomi yang mengemuka sejak permulaan tahun 2019 adalah masalah perang dagang antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina. Kedua negara besar tadi telah mencapai puncak persaingan industri teknologi dan perdagangan. Satu aspek yang paling penting dalam perang dagang itu adalah penetrasi produk suatu negara pada negara lain. Cina telah terbukti berkuasa secara mutlak dalam hal ini. 

Kemampuan Cina untuk memenangi persaingan penetrasi pasar ini dihasilkan dari penelitian berkelanjutan mengenai pasar dan sejarah konsumsi dunia. Berangkat dari perilaku Cina dalam melakukan penelitian kesejarahan mengenai tren konsumsi dunia, baiknya kita juga menggali kembali sejarah konsumsi kita, utamanya pada masa kolonial.

Sejarah yang disampaikan sebagai sarana pengembangan nasionalisme dalam sekolah menengah memberikan pengetahuan yang cukup luas. Namun demikian, penyampaian sejarah semacam ini sangat jarang memberikan hubungan-hubungan logis antara satu peristiwa dengan fenomena kekinian. Dalam sejarah model tersebut, kolonialisme selalu dianggap sebagai penyebab kesengsaraan masyarakat. 

Sekalipun demikian, aspek yang umumnya ditonjolkan adalah penerapan monopoli perdagangan. Aksi monopoli perdagangan memang menyusahkan kehidupan masyarakat Nusantara, namun hal ini terbatas pada negeri-negeri maritim seperti Aceh, Banten, Makassar, dan lainnya. Berbeda dengan wilayah-wilayah ini, kolonialisme sesungguhnya menghancurkan kemapanan hidup masyarakat agraris dengan cara yang berbeda.

Sesuai dengan sifat agraris, bagian besar anggota masyarakat dari suatu negeri pedalaman adalah petani. Pada masa klasik hingga masa tradisional, petani menjalankan cara hidup yang subsisten atau pemenuhan mandiri dan minimum. Para petani menghasilkan sendiri kebutuhannya dan memenuhi kebutuhannya pada tingkat yang sangat minimum.

Pada skema ini, petani sesungguhnya menghasilkan sedikit sekali kelebihan panen atau surplus untuk dijual. Gaya hidup subsisten ini menghasilkan suatu keadaan yang kita sebut swasembada. Sekalipun demikian, kita tentu mempertimbangkan bahwa kaum tani hanya menghasilkan barang-barang konsumsi langsung seperti padi, sayuran, dan tumbuhan palawija.

Barang konsumsi langsung ini juga pada umumnya hanya dibutuhkan oleh konsumen regional dan tidak dapat memenuhi tuntutan global. Padi misalnya sangat dibutuhkan oleh konsumen Asia, tetapi tidak berguna di Eropa. Sekalipun tidak dapat menjual barang produksinya pada pasaran global, kaum tani Asia Tenggara mampu hidup secara mapan.

Melalui penjelasan tersebut, muncul pertanyaan mengenai cara petani memenuhi kebutuhan benda bukan pangan. Untuk menjawabnya, kita harus memahami terlebih dahulu mengenai dunia yang melingkupi petani. Dunia petani hanya terbatas pada kesatuan desa yang di dalamnya terdapat dua kelompok masyarakat, yaitu petani dan pengrajin.

Petani menghasilkan bahan pangan dan pengrajin menghasilkan barang kebutuhan bukan pangan. Dengan skema yang demikian, desa petani sesungguhnya dapat benar-benar merdeka dan mandiri tanpa tergantung pada pasokan barang asing. 

Ketahanan semacam ini secara terus menerus dipertahankan oleh para penguasa agraris supaya beban kehidupan rakyat selalu dapat ditanggung oleh rakyat sendiri. Berbeda dengan golongan rakyat, golongan kerajaan dan aristokrat pada kerajaan agraris menunjukkan tingkat konsumsi yang jauh lebih besar.

Namun demikian, kebutuhan mereka ini juga disokong oleh petani. Secara sederhana, petani harus memenuhi empat kebutuhan dasar, yaitu makanan minimal yang harus dikonsumsi keluarga tani, biaya penggantian peralatan yang rusak, biaya upacara-upacara untuk menjaga hubungan sosial, dan biaya sewa tanah yang umumnya berupa pajak pada penguasa kerajaan.

Sebelum kedatangan bangsa Eropa, kaum tani dapat memenuhi kebutuhan itu dengan baik --kecuali bila penguasa agraris menuntut pajak yang berlebihan. Perubahan penting pada kemapanan ini terjadi ketika bangsa Eropa mulanya memperkenalkan pertanian model baru.

Perkenalan ini awalnya diterapkan oleh Hindia Belanda dengan cultuurstelsel. Model tanam komoditas ekspor ini kemudian meluas ke seluruh Asia Tenggara. Masalah pertama yang muncul adalah pada jenis tanamannya.

Jenis tanaman ekspor seperti kopi, teh, tebu, kina, dan lainnya tidak dapat berlaku sebagai barang konsumsi di Asia Tenggara. Tanaman ini tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan minimum yang telah disinggung tadi. Dengan demikian, kemapanan masyarakat dan status swasembada menjadi terganggu.

Setelah permasalahan itu mengemuka, bangsa Eropa memperkenalkan kebijakan lain yang mengundang permasalahan lanjutan. Bangsa Eropa memperkenalkan barang-barang kebutuhan bukan pangan yang diimpor dari industri-industri Eropa. Barang seperti alat makan, pakaian, dan kebutuhan lainnya ini berharga lebih murah dibandingkan hasil buatan pengrajin lokal. Kaum tani kemudian memilih untuk menggunakan barang-barang impor kualitas industri tadi. 

Melalui pola itu, kemapanan peran pengrajin menjadi runtuh. Sekalipun demikian, masuknya barang impor memberikan satu sisi positif, yaitu mengurangi beban kerja masyarakat. Sebelum barang impor industri masuk ke Asia Tenggara, masyarakat menghasilkan seluruh kebutuhannya secara mandiri sehingga kehilangan banyak waktu, barang industri mengurangi beban ini. Namun demikian, barang industri juga menghancurkan pola subsistensi dan kemandirian kaum tani.

Kehidupan kaum tani di Jawa, Siam, dan negeri-negeri lain menjadi terintegrasi dengan pasar global. Kenaikan harga barang industri yang hingga abad ke-18 tidak berdampak besar pada kehidupan petani menjadi sangat berpengaruh pada abad ke-19 dan 20. Tren ini yang sesungguhnya berlangsung hingga sekarang. 

Dengan demikian, sesungguhnya peran kolonialisme yang disebut menyengsarakan itu tidak saja terbatas pada tindakan kasat mata dan intensional seperti usaha monopoli, namun juga pada tindakan penetrasi pasar yang merusak pola hidup masyarakat Asia Tenggara. Pada tahun 1870, produksi kerajinan kain masyarakat Asia Tenggara kalah saingan dengan harga yang ditawarkan tekstil Inggris yang diproduksi secara mekanik dan profesional.

Pada periode ini, satu-satunya negeri Asia yang mampu bertahan melawan gempuran barang industri Eropa adalah Kekaisaran Qing atau Cina. Kekaisaran mampu mempertahankan gaya hidup Cina, salah satu bukti yang bertahan hingga sekarang adalah cara makan menggunakan sumpit. Ketahanan budaya ini pada akhirnya menghindarkan Cina dari impor sendok dan garpu Eropa. 

Berbeda dengan kasus Cina, Asia Tenggara sayangnya tidak mampu bertahan dari penetrasi barang Eropa. Seandainya Cina tidak mampu mempertahankan gaya hidupnya pada aspek yang paling sederhana tadi, industri Eropa akan meraup keuntungan yang sangat besar.

Bercermin dari sejarah pola konsumsi tadi, apakah Indonesia dan Asia Tenggara pada masa kini akan mempertahankan tata perilakunya dalam menghadapi penetrasi barang dari luar negeri? Atau melakukan refleksi sejarah, tidak saja pada sejarah nasional, namun pada sejarah regional Asia?

Daftar Sumber:

  • Aveling, Harry (ed.). 1979. The Development of the Indonesian Society. St. Lucia: University of Queensland Press.
  • Booth, Anne. 2007. Colonial Legacies. Honolulu: University of Hawaii Press.
  • Brown, Ian. 1997. Economic Change in Southeast Asia c. 1830---1980. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
  • Dahm. Bernhard. 1971. History of Indonesia in the Twentieth Century. London: Pall Mall Press.
  • Scott, James C. 1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
  • Spence, Jonathan D. 1991. The Search for Modern China. London: W. W. Norton & Company.
  • Wolf, Eric R. 1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: CV. Rajawali.

Penulis

C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun