Kerajaan di Jawa bagian tengah memiliki kecenderungan agraris, sedangkan Sumatra menunjukkan kecenderungan maritim. Posisi sentral pandai besi dalam kekuasaan Jawa sangat berkaitan dengan kemampuan mereka memproduksi senjata.Â
Pada masyarakat agraris, pandai besi memiliki dua fungsi utama, yaitu memproduksi alat pertanian dan alat perang. Bila kita mempertimbangkan posisi geografis kerajaan agraris yang berada di pedalaman, pandai besi berfungsi sebagai satu-satunya produsen senjata. Sedangkan, masyarakat maritim tidak terlalu berkepentingan dengan pandai besi karena dapat membeli peralatan logam dari negeri-negeri lain.
Pada masyarakat agraris, seorang penguasa dinilai memiliki kekuatan materiel ketika memiliki pasukan pengaman dan alat-alat perang. Sekalipun demikian, alat-alat perang justru merupakan fokus sentral karena pasukan pengaman ini biasanya diambil dari wajib kerja yang dibebankan pada petani. Dalam perkataan lain, pasukan dari kerajaan agraris sesungguhnya adalah para petaninya.Â
Untuk mendapatkan alat perang, diperlukan kerja pandai besi. Dengan demikian, pandai besi biasanya akan diberi tempat di kota-kota yang dekat dengan pusat kerajaan untuk menghindari hilangnya loyalitas mereka. Bila seseorang ingin menghabisi kekuasaan raja, langkah pertamanya dapat dilaksanakan dengan mengambil kesetiaan para pandai besi sehingga raja tidak lagi dapat memproduksi senjata.Â
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk menjadi penguasa di dunia agraris, seseorang harus mengikat kesetiaan para pandai besi. Sekalipun para pandai besi tidak memiliki peran memutuskan sesuatu seperti para kadi, posisi pandai besi tetap sangat penting dalam masyarakat agraris.
Melalui episode sejarah di atas, kita dapat melihat bahwa kekuasaan di Asia Tenggara sesungguhnya tidak absolut. Islam membentuk lembaga yang membatasi kekuasaan raja di Sumatra. Konsep agraris juga menciptakan batasan-batasan terhadap kekuasaan raja di Jawa.Â
Melalui refleksi itu seorang penguasa di Dunia Melayu setidaknya harus memenuhi tiga hal untuk dapat menciptakan kestabilan kekuasaan, yaitu memberi perlindungan pada hukum, bertindak sesuai dengan dasar hukum, dan memiliki pengikut yang setia.Â
Bila melihat hal-hal tersebut, sesungguhnya kursi kekuasaan bukanlah suatu posisi yang sangat menggoda dan justru terkesan sangat berat karena dibatasi oleh berbagai ketentuan dan dibebani oleh berbagai ekspektasi.Â
Daftar Sumber:
- Alfian, T. Ibrahim. 1987. Perang di Jalan Allah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
- Hasjmy, A. 1977. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan-Bintang.
- Lombard, Denys. 2006. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda. Jakarta: KPG.
- Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Reid, Anthony. 2014. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, 1450---1680: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Obor.
- Takeshi, Ito. 1984. The World of the Adat Aceh: A Historical Study of the Sultanate of Aceh. Canberra: Australia National University.
- Penulis:Â C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H