Telah saya bahas pada tulisan saya sebelumnya bahwa masyarakat kuno Asia Tenggara memang menaruh perhatian yang baik pada perbedaan kapasitas biologis antara pria dan wanita, namun perbedaan ini tidak dipandang sebagai pagar yang menghalangi peran wanita. Asia Tenggara mengenal wanita seperti Malahayati yang menjadi laksamana perang --sebuah kedudukan yang dibayangkan harusnya diduduki pria. Asia Tenggara juga mengenal Sultanah Tajul Alam sebagai raja wanita di Aceh.Â
Dengan demikian, perbedaan kapasitas biologis tidak menghalangi seorang wanita untuk berperan dalam bidang-bidang yang sama dengan pria pada aspek ekonomi, sosial, militer, dan lainnya. Bagaimanapun, telah saya singgung bahwa perbedaan itu ada pada ranah biologis, bukan ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya.
Daftar Sumber
Hall, D. G. E. 1955. A History of Southeast Asia. London: Macmillan.
Ong, Hok Ham. 2018. Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Owen, Norman G. (ed.). 2005. The Emergence of Modern Southeast Asia: A New History. Honolulu: University of Hawaii Press.
Reid, Anthony. 2014. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, 1450---1680: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Obor.
Steinberg, David Joel (ed.). 1971. In Search of Southeast Asia: A Modern History. Honolulu: University of Hawaii Press.
Suwannathat-Pian, Kobkua. 2003. Asia Tenggara: Hubungan Tradisional Serantau. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
Warshaw, Steven. 1975. Southeast Asia Emerges: A Concise History of Southeast Asia from Its Origins to the Presents. Beverly Hills: Benziger.
Penulis
C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial.