Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh dan Tindakan Terakhirnya (Suatu Penyampaian Naratif)

10 Mei 2019   03:10 Diperbarui: 10 Mei 2019   03:54 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tekening van gevecht en brandende schepen tijdens de slag in de Javazee. De tekenaar is Van der Ven, 1942 (Nationaal Archief, 1942)

Kondisi gawat darurat menerjang Hindia Belanda setelah Kekaisaran Jepang memulai operasi militernya dengan mendaratkan Angkatan Darat di Indocina dan menghantam Pearl Harbor di Kepulauan Hawaii. 

Hindia Belanda yang sejak 1940 telah goyah oleh pengasingan keluarga Kerajaan Belanda ke Inggris kini harus bersiap mengalami teror yang segera menyapa negeri koloni besar itu. Tak pernah terbesit di dalam pikiran Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer bahwa janji yang telah diucapkannya tahun 1936 kini menjadi beban yang amat berat di atas pundaknya. 

Janji serah terima jabatan itu berisi pernyataan bahwa Hindia Belanda tidak akan berkurang tanahnya selama ia menjadi gubernur jenderal. Angin berita yang menghembuskan ketegangan pada mulanya terasa pada Desember 1940, Ratu Wilhelmina, melalui radio Belanda di Inggris, menyerukan apa yang disebut sebagai Vlammend Protest atau "protes yang berapi-api" terhadap pendudukan Jerman atas Negeri-negeri Rendah yang bersikap netral --Belanda, Belgia, dan Luxemburg.

Gubernur Jenderal Tjarda yang pada masa itu masih dapat berhubungan dengan Menteri Urusan Seberang Lautan, Welter, terkecoh Jepang yang masih menjaga hubungan dagang yang amat baik dengan Hindia Belanda sehingga tak memberikan peringatan bahaya. Rupanya, pada 8 Desember 1941, pasukan Jepang mendarat di Sinkra, Pattani, dan Kotabaru di Semenanjung Malaya. 

Sasaran selanjutnya tak dapat dimungkiri lagi adalah Hindia Belanda. Mengetahui hal ini, Gubernur Jenderal sejatinya ingin menarik Hindia Belanda dari pusaran perang yang akan terjadi, namun dengan meletusnya serangan Pearl Harbor, perang tak lagi dapat dihindari. 

Pagi hari setelah penyerangan, demi menyatakan dukungan pada Amerika Serikat, diserukanlah oleh Tjarda melalui pidato radio bahwa Hindia Belanda mengutuk tindakan Jepang dan mulai detik itu pula menyatakan perang terhadap kekaisaran itu.

Pertahanan Hindia Belanda yang dibangun dengan sangat lambat baru dipercepat pada tahun 1936 di bawah pemerintahan Tjarda. Celah-celah pertahanan terpampang jelas di seluruh kepulauan Hindia Belanda sehingga pasukan Jepang yang pada mulanya mendarat di Tarakan dan Sumatra dapat menguasai kepulauan dan bahkan berhasil mengepung Jawa dalam beberapa hari saja. Pertempuran hebat terakhir Koninklijk Marine (Angkatan Laut) terjadi di Laut Jawa dengan hasil kekalahan Belanda. Praktis, Jepang berhasil memasuki Jawa lewat Teluk Banten. 

Para laksamana yang masih tersisa diperintahkan oleh Tjarda untuk mengasingkan diri ke Colombo. Dalam episode inilah Gubernur Jenderal mengirim mereka pergi dengan ucapan "... ini adalah akhir yang menyedihkan bagi perjuangan yang gigih, Laksamana. Hal ini amat menggerakkan hati saya. Saya tetap di sini dan memberikan doa restu pada Tuan!" Tidak hanya para laksamana, Tjarda juga mengirim Letnan Gubernur Jenderal H. J. van Mook ke Australia untuk mengamankan kontinuitas kekuasaan. Dengan demikian, strata puncak kekuasaan Hindia Belanda hanya tinggal dirinya seorang.

Tekening van gevecht en brandende schepen tijdens de slag in de Javazee. De tekenaar is Van der Ven, 1942 (Nationaal Archief, 1942)
Tekening van gevecht en brandende schepen tijdens de slag in de Javazee. De tekenaar is Van der Ven, 1942 (Nationaal Archief, 1942)

Ketika pada akhir Februari 1942, Bandung --pusat kekuasaan Hindia Belanda masa perang, diancam dengan bom oleh Jepang, gubernur jenderal bersama dengan Panglima Angkatan Perang Ter Poorten segera bertolak ke Kalijati untuk memenuhi permintaan Jenderal Imamura dari pihak militer Jepang. Tindakan ini tidak lain adalah bentuk kegelisahan hati karena Bandung pada masa itu penuh dengan pengungsi perempuan, orang tua, dan anak-anak yang tidak menjadi subjek perang. 

Di Kalijati, kemampuan diplomasi Tjarda yang mumpuni berguna untuk mengamankan kekuasaan sipil Hindia Belanda. Tjarda, atas kesalahan diplomatik Jenderal Imamura, meninggalkan ruang perundingan tanpa menelanjangi kekuasaan dirinya. Singkat kata, pihak yang menyerah pada Jepang hanyalah pihak angkatan perang dan bukan kekuatan sipil. 

Dengan tetap berpegang pada prinsip utama kepegawaiannya, Tjarda kemudian menyerukan bagi seluruh korps Binnenlandsch Bestuur atau pegawai kolonial Hindia Belanda untuk tetap menjalankan tugasnya sebelum ia sendiri pada akhirnya menjadi interniran Jepang.

Dengan dasar argumen bahwa pemerintah sipil Hindia Belanda tidak pernah menyerahkan kedaulatannya, Kerajaan Belanda kemudian merasa memiliki klaim terhadap kepulauan Indonesia bahkan setelah proklamasi kemerdekaan yang dipandangnya tidak sah. 

Oleh sebab itu, Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda harus menyelesaikan sengketa ini dalam berbagai perundingan. Perundingan Linggadjati, Renville, Roem-Roijen, dan Konferensi Medja Boendar adalah ekses dari sikap diplomatik dan kepiawaian Tjarda dalam mengamankan kedaulatan sipil Hindia Belanda. 

Melihat kenyataan ini, kita dapat mempertimbangkan bahwa tindakan diplomatik Indonesia yang diinisiasikan oleh Sjahrir adalah suatu pilihan yang tepat menyoal posisi legal Indonesia yang terbentur oleh tindakan pengamanan kekuasaan sipil yang dilakukan oleh Tjarda. 

Bila Indonesia pada masa itu hanya bertahan pada kekuatan militer, apakah Indonesia tetap mendapat penghormatan sebagai negeri berdaulat atau hanya sebagai gerakan separatis dari kekuasaan Belanda? Apakah kekuatan diplomasi kita telah mengkhianati perjuangan militer seperti yang selama ini menjadi diskursus? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini dapat dijawab dengan memperhatikan fakta sejarah masa akhir Hindia Belanda.

Daftar Sumber

Brugmans, I. J. 1960. Nederlandsch-Indie onder Japanse Bezetting, Gegevens en Documenten over de Jaren 1942-1945. Freneker: Penerbit Tidak Diketahui.

De Jong, L. 1984. Het Koninkrijk Der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog. s'Gravenhage: SDU Uitgeverij.

De Jong, L. 2002. The Collapse of a Colonial Society: The Dutch in Indonesia during the Second World War. Leiden: KITLV.

Kurasawa, Aiko. 2016. Masyarakat dan Perang Asia Timur Raya: Sejarah dengan Foto yang Tak Terceritakan. Jakarta: Komunitas Bambu.

Ong, Hok Ham. 1989. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: PT. Gramedia.

Van der Wal, S. L. 2015. Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer, Jhr. Alidius Warmoldus Lambertus (1888-1978) in Biografisch Wordenboek van Nederland. Den Haag: Huygens ING.

Penulis

C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun