Kritik lanjutan terhadap kondisi kehidupan di tanah koloni mencapai puncaknya kembali pada masa pergantian abad dengan ditandai salah satunya oleh tulisan Conrad Th. van Deventer berjudul "Een Ereschuld" atau "Utang Kehormatan" yang dimuat majalah De Gids. Pada pokok tulisannya, Van Deventer memberikan suatu pandangan bahwa rakyat Belanda memiliki suatu 'utang kehormatan' pada wilayah koloninya --termasuk Hindia Belanda, atas segala hasil yang telah memakmurkan Negeri Belanda di Eropa.Â
Dengan beban utang kehormatan tadi, hendaknya masyarakat Belanda juga berpikir mengenai usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan taraf hidup negeri-negeri koloninya. Kritik bernada humanis ini bahkan sampai ke telinga Ratu Wilhelmina yang baru saja diangkat pada masa itu. Ratu Wilhelmina kemudian menggelorakan semangat politik kolonial baru yang dikenal dengan Etische Politiek atau Politik Etis.
Politik Etis dengan tiga pokoknya --yaitu irigasi, perpindahan penduduk, dan edukasi, menjadi haluan kolonial baru yang dijalankan oleh Hindia Belanda. Namun, hal ini terbatas pada peningkatan taraf hidup masyarakat yang hidup di Pulau Jawa.Â
Dengan demikian, usaha eksploitasi pada pulau-pulau yang lain dituntut untuk menghasilkan surplus agar dapat membiayai pelaksaan kebijakan Politik Etis secara mandiri, mengingat Kerajaan Belanda telah memberi bantuan dengan mengambil alih seluruh utang Hindia Belanda pada awal 1900an.Â
Akuisisi utang ini dimaksudkan agar Hindia Belanda dapat berfokus melaksanakan Politik Etis secara mandiri dan tidak terbeban. Dengan skema yang demikian, penduduk yang hidup di Jawa telah menikmati suatu keadaan yang juga menimbulkan 'utang kehormatan' pada wilayah-wilayah yang telah menopangnya.
Berkesinambungan dengan praktik masa kolonial, dinamika masa republik tidak memberikan suatu perubahan yang sangat signifikan pada praktik 'pembiayaan' ini. Penyelenggaraan pemerintahan yang berpusat di Jawa secara pasti dan masuk akal tentu akan memfokuskan segala macam pembangunan infrastruktur di Jawa.Â
Pembangunan jalan hingga perangkat ekonomi berfokus pula di Jawa. Seperti pada masa kolonial, sumber dana pendukung biaya-biaya pelaksanaan pemerintahan didapatkan sebagian besarnya dari pulau-pulau selain Jawa. Sekali lagi, skema kolonial secara tidak disadari telah mewujud pada masa republik.Â
Hal ini dapat dikatakan sebagai perwujudan suatu 'negara kolonial' baru --tanpa perlu diberi label sebagai negara kolonial yang sesungguhnya. Suatu arus besar yang tidak berubah adalah mengenai kurang berimbangnya pembangunan yang dilakukan di Jawa dibanding wilayah lain di Indonesia.Â
Berkaitan dengan itu, pemerintah republik dalam pembiayaan pemerintahannya telah menikmati suatu hasil yang amat signifikan dari eksploitasi minyak bumi, gas alam, batu bara, minyak sawit, dan usaha lain yang dihasilkan oleh wilayah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan pulau-pulau penting lainnya.Â
Mengalirnya dana yang terus 'memakmurkan' penduduk yang tinggal di Pulau Jawa mengingatkan kita pada 'utang kehormatan' yang direfleksikan oleh Van Deventer. Dengan bercermin pada hal itu, bukankah seharusnya muncul suatu kebijakan Politik Etis yang baru? Sekalipun para presiden dan pemangku kebijakan lainnya secara kontinu terus menghasilkan kebijakan pembangunan yang baik bagi wilayah selain Pulau Jawa, namun tampaknya 'utang kehormatan' tersebut belum lunas dengan berbagai macam kebijakan tadi.Â
Untuk membayar 'utang kehormatan' itu, kita dapat bercermin mula-mula pada tiga pokok kebijakan Politik Etis kolonial tadi. Bila kita mempertimbangkan tiga pokok kebijakan etis pemerintah kolonial itu, kita akan mampu melihat bahwa irigasi pada masa kini tentu setara dengan infrastruktur, sedangkan dua pokok yang lain masih relevan untuk dilaksanakan.