“Din, dia balas pesanku lagi.” ucap Reno kegirangan.
Reno, cowok berpostur tinggi, berkulit putih, dengan mata yang berbinar adalah sahabatku sejak SMP, rumah kita bersebelahan.
“Cepat tanya kabarnya” jawabku singkat.
Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, aku menaruh hati padanya namun dia tak pernah tahu akan hal itu. Bahagia adalah ketika melihat Reno bahagia, maka akan selalu aku pendam rasa tentangnya agar mata ini bisa selalu melihat ia bahagia.
Malam harinya, aku menulis cerita di sebuah catatan harian kesayanganku, dengan memutar musik klasik, ku tuliskan semua rasa bahagia, kesal, sedih, kecewa, tak terkecuali perasaanku terhadap Reno.
Tiba-tiba ada seorang mengetuk pintu kamar,
“Din, keluar dong? Aku bawa makanan nih untuk kita makan berdua, tadi mamaku beri uang jajan bulanan hehe.” suruh seseorang yang berada dibalik pintu, yang tidak lain adalah Reno.
“Ya sebentar. Aku ganti baju dulu ya.”
“Ah tidak perlu ganti baju, itu terlalu lama, seperti mau bertemu pacar saja.” Katanya sambil terus mengetuk pintu
“Ya sudah, aku tidak mau keluar kalau begitu.” kataku sedikit jengkel.
Dia tidak tahu jika aku sangat senang ketika dia menemuiku, layaknya seorang pacar atau mungkin lebih dari itu. Cukup dengan raga yang berdekatan mampu mengoles sebuah kebahagiaan dalam hidupku, yang mungkin tak berarti lebih baginya.