[caption id="attachment_299440" align="aligncenter" width="640" caption="Ruhut Sitompul, "][/caption]
"Langit masih tetap biru, tapi padi sudah semakin menguning hingga ke pelosok desa."
Itu merupakan kata pamungkas yang dikatakan oleh Bakrie selaku Ketua Umum Partai Golkar pada setiap kunjungan politik di daerah-daerah. Kalimat tersebut bukan tanpa alasan, dari berbagai survey yang dirilis, Golkar dengan pelan tapi pasti terus bertahan sebagai partai dengan tingkat elektabilitas di posisi dua. Satu peringkat dibawah PDIP yang terus meluncur naik sejalan dengan pemberitaan positif media terhadap kader-kader PDIP. Sedang di posisi 3, Partai Gerindra terus merangsek naik sebagai kuda hitam mengalahkan Partai Demokrat. Sedangkan partai lainnya, ibarat klasemen sepakbola masih berada dipapan tengah dan tampaknya sulit mengimbangi performa dari Big Four (PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat) dalam pesta demokrasi ini.
Hal ini tentu saja menjadi tamparan keras untuk Partai Demokrat. Sebagai penguasa dalam 10 tahun, menjadi peringkat 4 mungkin belum pernah terpikir oleh SBY selaku dedengkot Partai Demokrat. Menjadi penguasa untuk ketiga kalinya tampaknya hanya tinggal isapan jempol. Namun bukan politik namanya kalau hanya diam dan akhirnya mundur kebelakang walaupun kekalahan sudah didepan mata. Demokrat menyerang rivalnya dengan kasus korupsi.
Siapa yang diserang oleh Demokrat? Apakah PDIP? Tentu bukan. Menyerang PDIP sama dengan bunuh diri. Bukan karena PDIP kadernya bersih dari dugaan korupsi, tapi lebih karena PDIP merupakan "media darling" di Indonesia pada tahun ini. Tokoh-tokohnya yang membuat gebrakan seperti Jokowi (Gub. Jakarta), Risma (Walkot Surabaya), Ganjar Pranowo (Gub. Jateng), dan Budiman Sudjatmiko (Anggota DPR RI) cukup membuat PDIP menjadi sorotan dalam tensi positif oleh masyarakat Indonesia. Menyerang Gerindra juga mustahil, partai tersebut bersih dari tuduhan korupsi. Melihat hal ini, Demokrat menyerang Golkar sebagai partai senior di Indonesia. Alasannya simpel, Golkar oleh sebagian orang dianggap sebagai partai dengan jumlah koruptor terbanyak. Demokrat memilih menyerang Golkar.
Demokrat akhirnya menyerang Golkar dengan menaikkan kasus Ratu Atut Chosiyah dengan dugaan suap dan korupsi keluarga di Banten. Bukan tanpa alasan Demokrat menyerang Atut, mungkin saja Demokrat juga ingin menyerang PDIP. Sudah kita ketahui, bahwa wakil Atut adalah Rano Karno yang merupakan kader PDIP. Ibaratnya, sekali mengayuh dua tiga pulau terlampaui.
Serangan yang dilakukan oleh Demokrat ini dilakukan sekaligus untuk menutup skandal Century dan Hambalang yang menyeret kader-kader Demokrat. Dimainkanlah kasus Atut dengan kekuatan media yang dimiliki oleh Demokrat. Alhasil, rusak nama Atut lalu ditahan di Rutan Pondok Bambu. Nama Bakrie dikait-kaitkan. Kasus kader Demokrat yang merugikan negara triliunan rupiah terbang tertiup angin. Demokrat menang? Ternyata tidak dan malah salah sasaran.
Golkar bukan partai kemarin sore, partai ini sudah merasakan asam garam perang politik di Indonesia. Serang dari Demokrat diibaratkan sebagai tusukan dari anak kemarin sore. Sakit, namun tidak fatal. Lihat saja, Golkar masih berdiri tegak di posisi dua klasemen sementara, Atut pun masih tetap menjadi Gubernur Banten dan kasusnya tidak terlalu terekspos. Kasus Century dan Hambalang malah muncul kembali ke permukaan. Demokrat ketar-ketir, melarikan diri dengan mengadakan konvensi Capres Demokrat, namun tidak terlalu booming.
Akhirnya, ketika Demokrat sedang pusing mencari cara untuk menaikkan elektablitasnya, PDIP menggunakan kartu trufnya di H-2 sebelum Kampanye Terbuka. PDIP mencalonkan Jokowi sebagai Capres PDIP. Hal ini sontak membuat semua partai yang sudah menggadang-gadang capresnya ketar-ketir. Bagaimana tidak, berbagai survey menyatakan bahwa Jokowi akan menang bahkan dengan calon paling tidak populer sekalipun. Golkar, Gerindra, Hanura, PKS, dan Demokrat pun goyang.
Akhir drama, Partai Demokrat seakan membuang-buang peluru dan energi dalam kasus Atut. Tak hanya partai, bahkan SBY pun melakukan hal yang sama. Menyerang Atut demi menjatuhkan Golkar di Banten demi mendapatkan 10 juta suara disana. PDIP melenggang elok di panggung politik, elektabilitas terus naik, Golkar mendekati PDIP. Demokrat hanya bisa maki-maki Jokowi dan gigit jari karena salah strategi.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H