Mohon tunggu...
Reinardus Suryandaru
Reinardus Suryandaru Mohon Tunggu... -

Pengamat Ekonomi, Awardee LPDP Indonesia 2015

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Gairah Urbanisasi Dalam Perspektif Ekonomi

13 November 2018   09:36 Diperbarui: 13 November 2018   09:55 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Laju urbanisasi di Indonesia menjadi salah satu yang tercepat di Asia, tumbuh 4.1 persen/tahun (World Bank, 2016). Di tahun 2025, 68 persen penduduk Indonesia (185.64 juta jiwa) diprediksi akan berpusat di kota.

Urbanisasi merupakan sebuah proses yang terus selalu berjalan (countinous) dan dinamis, mencerminkan fenomena politik, sosial, budaya, dan juga ekonomi. Paling tidak terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi terjadinya urbanisasi.

Pertama, karakteristik umum dimana perkotaan selalu menawarkan insentif ekonomi (upah) dan non-ekonomi (kenyamanan, akses infrastruktur penunjang) yang lebih baik ketimbang pedesaan

Kedua, motif sosial dan budaya seperti: harapan untuk mengembangkan diri lebih jauh, menggapai status sosial yang lebih tinggi, kurangnya hiburan di desa, serta beban adat yang lebih ringan di perkotaan.

Ketiga, perubahan struktur perekonomian Indonesia dari sektor agraris ke sektor jasa dan industri. Meskipun pangsa sektor agraris (Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan) terhadap PDB Indonesia saat ini masih di kisaran 12-13 persen, namun pertumbuhannya memiliki tren yang semakin menurun.   

Pertumbuhan rata-rata sektor agraris (mayoritas di pedesaan) tahun 2013-2017 hanya sebesar 3.87 persen sedangkan di sektor jasa dan industri (mayoritas di perkotaan) adalah sebesar 8.24 persen atau dua kali lipat lebih. Di periode yang sama, jumlah angkatan kerja di sektor agraris pun menurun, sebaliknya di sektor jasa serta industri meningkat. Pada Agustus 2013, persentase jumlah angkatan kerja di sektor agraris dan jasa serta industri masing-masing sebesar 34.78 persen dan 51.01 persen sedangkan pada Agustus 2017 persentasenya berubah menjadi masing-masing 29.68 persen dan 54.26 persen.

Urbanisasi dan Dampaknya
Pertumbuhan laju urbanisasi pada dasarnya memiliki dampak positif terhadap PDB/kapita. Hasil empiris menunjukan bahwa setiap 1 persen peningkatan urbanisasi di India, China, dan Thailand akan meningkatkan PDB/kapita masing-masing negara sebesar 13 persen, 10 persen, dan 7 persen (World Bank, 2016). Indonesia sendiri hanya mampu meningkatkan PDB/kapita sebesar 4 persen dari setiap 1 persen peningkatan urbanisasi.

Hasil studi tersebut menyiratkan bahwa urbanisasi merupakan salah satu enabler dalam proses pemajuan peradaban dan memiliki potensi untuk mempercepat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.  

Namun urbanisasi juga menghasilkan "growing pains" dalam tataran pembangunan

Meningkatnya harga hunian, minimya infrastruktur penunjang urbanisasi yang memadai membuat banyaknya jumlah penduduk di kota justru akan menciptakan tekanan sosial. Bonus demografi Indonesia yang diperkirakan akan terjadi di tahun 2030 bisa berbalik menjadi bencana demografi karena ketidakmampuan kita dalam menselaraskan pembangunan sosial dan ekonomi untuk seluruh lapisan masyrakat, baik di kota maupun di desa. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kriminalitas/premanisme,

Meningkatnya angka migrasi desa ke kota juga menjadi salah satu faktor menurunnya aktivitas sektor pertanian yang akan mengganggu kemandirian pangan Indonesia.

Meminimalisir "Growing Pains"
Pertama, kita dapat belajar dari kasus China. Komitmen China untuk menginvestasikan dananya dalam urban infrastructure telah membantu untuk menurunkan dampak negatif dari adanya laju urbanisasi yang masif. Sebagai gambaran, proporsi belanja infrastruktur terhadap PDB Indonesia ada di kisaran 3-4 persen sedangkan di China 12-15 persen.

Kedua, untuk menjaga ketahanan pangan maka pemerintah wajib meningkatkan produktivitas pertanian dan menjaga keberlangsungan profesi di sektor pertanian. Di Indonesia sebenarnya konsep-konsep ketahanan pangan sudah cukup banyak dihasilkan. Namun tidak ada komitmen pusat-daerah yang kuat serta adanya "keengganan" secara akut dalam proses menjaga ketahanan pangan.

Ketiga, pemerintah harus memberikan ruang bagi masyarakat perkotaan dan pedesaan secara adil untuk berpartisipasi dalam membentuk kebijakan publik agar kebijakan ekonomi dan pembangunan tidak "urban bias".

Harapannya di tahun 2025, proses urbanisasi yang ada nanti dapat meningkatkan produktivitas perekonomian sebagai pijakan untuk menggapai Indonesia Emas 2045, siapapun pemimpinnya nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun