Sejarah pergolakan daerah itu muncul karena kepentingan dari kalangan masyarakat tertentu yang belum terwujud. Dalam keadaan demikian itu, masyarakat yang bersangkutan menilai bahwa birokrasi tidak sanggup mengatasi keadaan sehingga inisiatif beralih pada eksponen militer di setiap daerah. Selain itu pergolakan daerah ini dimotori oleh Dewan Perjuangan yang bermuara pada kasus PRRI 1958-1961. Dalam artikel ini akan dibahas dalam empat fase.
Fase I : Prakondisi
Pada tahun 1950-an Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka mulai berdaulat dan belajar menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Namun, cita-cita kemerdekaan masih tertanam rapi dalam harap bangsa. Mereka masih berpegang teguh kepada pemikiran bahwa setelah merdeka Indonesia harus menjadi bangsa yang "modern", dalam arti Indonesia harus sejajar dengan barat.
Pertengahan 1950-an timbul permasalahan pasca pemilu:
- Tuntutan otonomi daerah luas dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta tuntutan perpanjangan keuangan yang wajar, layak dan berkeadilan antara daerah dan pusat.
- Masalah integrasi berbagai kesatuan bersenjata lokal jadi Angkatan Darat regulator, termasuk masalah akseptabilitas toko kepada staf Angkatan Darat, hubungan antara Presiden Soekarno dengan kabinet parlementer dan kepemimpinan Angkatan Darat.
- Masalah keretakan dwitunggal Soekarno Hatta yang berakhir dengan pengunduran diri Wakil Presiden Hatta bulan Desember 1956.
- Masalah ideologi pasca Pemilihan Umum I tahun 1955, sehubungan dengan penyusunan konstitusi baru pengganti Undang Undang Dasar Sementara 1950.
- Masalah konsepsi Soekarno sejak tahun 1957 dan last but not least ialah come-back-nya PKI sebagai salah satu partai besar pemenang Pemilu 1955 yang berlindung di balik gezag Presiden Soekarno.
Fase II : Pecahnya Perang Saudara (Civil War)
pada 10 Februari 1958, sebuah badan disebut dengan Dewan Perjuangan mengeluarkan ultimatum kepada pusat, setelah mengadakan rapat di Sungai Daerah, Sumatera Tengah. Isinya adalah tuntutan agar Kabinet Djuanda dibubarkan dan menyerahkan marahnya kepada Presiden atau pejabat Presiden; memberikan kesempatan dan bantuan sepenuhnya kepada Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk "Zakenbinet" sampai pemilu berikutnya; meminta kepada Presiden Soekarno agar sedia kembali menjadi Presiden Konstitusional dengan membatalkan semua tindakannya yang melanggar konstitusi selama ini.
Namun, kedua pihak tidak mau mundur dan mempertahankan pendirian masing-masing. Ketika ultimatum itu mencapai waktu yang ditentukan, maka pada tanggal 15 Februari, maka genderang "perang saudara" segera ditabuhkan.
Fase III : Bergerilya dan Jatuhnya Korban
Akibat peperangan menimbulkan tindakan anarkis, brutal yang menyebabkan banyak korban jatuh akibat tindak kekerasan, penyalahgunaan wewenang militer, teror, pemerkosaan, pendobrakan rumah penduduk, sampai pada penyiksaan dan pembunuhan. Lebih tragis lagi, begitu banyak generasi minang yang hilang (angkatan 45 & 46) karena sebagian besar penduduk Sumatera Barat bergabung dengan PRRI.
Menurut laporan korban pihak pemerintah terbunuh 983 orang, 1.695 luka-luka dan 154 orang hilang, sementara pihak PRRI 6.373 terbunuh, 1.201 terluka dan yang tertangkap serta 6.057 yang menyerah. Menurut sumber resmi kodam 17 Agustus di pihak PRRI sebanyak 6.115 tewas dan 627 yang hilang, sedang pihak kodam III/APRI sebanyak 1.031 tewas, dengan rincian 329 tentara, 56 brimob, 67 OPR, 7 pegawai dan 572 rakyat. Jumlah ini belum termasuk penyiksaan dan teror.
Fase IV : Dampak Eksesive