Siapa yang tak kenal dengan tempat yang satu ini? Banda Neira  yang terdapat di pecahan uang seribu rupiah. Di kenal dengan keindahan dan kekayaan alamnya, terlebih panorama bawah laut yang bisa menghipnotis wisatawan. Dasar laut Banda Neira ini menyimpan banyak terumbu karang dan ikan-ikan yang mengagumkan. Selain daripada semua keindahannya tempat ini menjadi salah satu tempat yang bersejarah, salah satunya adalah menjadi tempat pengasingan Bung Hatta. Tidak hanya sendiri, pihak kolonial mengasingkan Bung Hatta bersama Bung Syahrir.
Bung Hatta dan Bung Syahrir tiba di Banda Neira pada tanggal 11 Februari 1936, setelah sebelumnya mereka diasingkan dan ditahan di Boven Digoel pada tahun 1935. Mereka sengaja dipindahkan agar menjauhkan mereka  dari kontak dengan dunia luar, selain itu juga demi kesehatan.Â
Bung Hatta dan Bung Syahrir sempat terkena malaria di Digoel, Papua. Ketika itu malaria menjadi pembunuh nomor satu bagi tahanan politik yang ditahan di Digoel. Selain dari itu alasan mereka diasingkan ke Banda Neira ini agar sikap mereka melunak pada pemerintah akan tetapi usaha itu gagal.
Ketika pertama kali tiba di Banda Neira, Bung Hatta dan Bung Syahrir awalnya menetap di rumah Iwa Koesoemasoemantri yang letaknya dekat dengan dermaga. Keesokan harinya mereka pindah ke rumah dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Yang mana Iwa Koesoemasoemantri dan Tjipto Mangoenkoesoemo ini lebih dahulu diasingkan oleh kolonial Belanda.
Sepekan kemudian, Bung Hatta dan Syahrir memutuskan untuk pindah ke rumah sewaan dari De Vries, orang Belanda kaya pemilik perkebunan yang tinggal di Batavia. Harga sewa rumah keduanya hanya 12,50 gulden (setara 70.000) sebulannya. Harga sewa ini tergolong murah karena sudah lama kosong dan disebutkan berhantu. Setelah beberapa bulan akhirnya Bung Syahrir memutuskan untuk pisah dan tinggal di rumah yang tidak jauh dari rumah pengasingan Bung Hatta, ia menyewa pavilliun pada keluarga Baadillah yang menghadap ke Selat Sonnegat.
Bung Hatta dan tokoh yang dibuang ke Banda Neira ini, mendapat tunjangan dari pemerintah Belanda setiap bulannya. Apabila berkeluarga mendapat 150 gulden, sedangkan apabila hidup sendiri mendapat 75 gulden. Hidup mereka di sana sangat sederhana, hanya butuh membeli beras dan pakaian. Tunjangan Bung Hatta dan Bung Syahrir lebih kerap digunakan untuk membantu penduduk sekitar.
Kondisi pengasingan Hatta dan Syahrir di Banda Neira tak seburuk di Digoel. Di Banda Neira, mereka diberikan kebebasan untuk berkomunikasi dengan siapapun. Kebiasaan membaca Bung Hatta pun tak dibatasi, ia tetap diperbolehkan membaca buku, koran maupun majalah.Â
Dari situlah, Bung Hatta me-refresh kembali rencana-rencananya yang bersifat politik. Selain dari membaca, hobi Bung Hatta sering berjalan kaki. Warga Banda Neira mengenal Bung Hatta karena kedisiplinannya. Ia selalu berjalan sore rutin setiap hari pada jam yang sama setiap Senin hingga Sabtu sekitar pukul 04.00-05.00 WIT.
Rute yang dilalui Bung Hatta selalu sama, dari rumah menuju masjid, masuk hutan lalu melintasi kebun pala, dan berakhir di dekat pantai ujung pulau kemudian berhenti sebentar. Setelah itu Bung Hatta akan pulang dengan arah yang sama. Kebiasaan yang dilakukan rutin dan selalu tepat waktu ini membuat pekerja di kebun pala selalu menjadikan Bung Hatta sebagai patokan jam, karena saat itu tidak ada jam di kebun pala yang amat luas. Jika Bung Hatta lewat berarti sudah jam lima sore dan waktunya istirahat sebelum pulang ke rumah.
Setiap malam minggunya, Hatta dan Syahrir mengunjungi rumah Tjipto dan Iwa. Di rumah Iwa, mereka berkenalan dengan Abdullah Bahalwan, seorang peranakan Arab yang mengajari Iwa tafsir al-Qur'an dan Bahasa Arab. Mereka saling berdiskusi dan bercerita. Selain dari belajar dan berdiskusi, selama dalam masa pengasingan Bung Hatta dan Bung Syahrir ini membuka Sekolah Sore yang tepatnya berada di pavilliun selatan bangunan rumah pengasingan Bung Hatta.