Mohon tunggu...
Rein Renaldi
Rein Renaldi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Membuka (Kembali) Kasus Pajak BCA

11 Mei 2015   13:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:10 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menemukan kembali sebuah tulisan menarik terkait kasus ajak BCA yang ditulis Sunarsip M.E., Ak di halaman 1 Koran Republika pada Kamis, 24 April 2014. Sunarsip adalah Ekonom KepalaThe Indonesia Economic Intelligence (IEI).

Sunarsip pernah menjabat beberapa jabatan penting di birokrasi seperti Tenaga Ahli Bidang Riset dan Kebijakan. Kemudian, pada Mei 2005, Pemerintah melalui Kementerian Negara BUMN, menunjuknya sebagai Komisaris PT Bank BRI Tbk sebagai wakil Pemerintah.

Yang membuat saya tertarik dengan tulisan Sunarsip adalah kesamaan pendapatnya dengan Prianto Budi Saptono bahwa persoalan kasus pajak BCA tidak lain adalah PERSELISIHAN atau SENGKETA antara Ditjen Pajak dan BCA cq konsultan pajak BCA.

Judul tulisan di atas adalah jiplakan dari judul tulisan Sunarsip di harian Republika. Simak tulisan utuh dari Sunarsip sebagai berikut:

Senin lalu (21 April), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang terkait permohonan keberatan pajak atas non performance loan (NPL) senilai Rp5,7 triliun yang diajukan Bank BCA pada 1999. Kasus ini memang cukup pelik, karena melibatkan interpretasi teknis terkait dengan ketentuan perpajakan. Di samping itu, kasus ini juga memerlukan pemahaman yang sifatnya kontekstual terkait dengan regulasi yang berlaku pada saat kasus pajak ini terjadi.

Tulisan ini tidak ditujukan untuk membahas delik pidana korupsi dari kasus pajak BCA tersebut, namun lebih untuk memetakan dinamika yang terjadi pada saat kasus ini muncul.

***

Seperti kita ketahui, krisis ekonomi 1997/98, telah menyebabkan sejumlah bank mengalami gangguan kesehatan yang parah. Bahkan, beberapa bank terpaksa dilikuidasi karena dinilai sudah tidak mungkin bisa diselamatkan lagi. Sementara itu, sebagian bank-bank besar termasuk BCA, karena dianggap memiliki dampak sistemik bila tidak diselamatkan, maka terhadap kelompok bank ini pemerintah lalu mengambil alih kepemilikannya menjadi bank pemerintah atau sebagai Bank Taken Over (BTO) untuk disehatkan kembali.

Dalam rangka program penyehatan perbankan tersebut, pemerintah lalu membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melalui Peraturan Pemerintah No. 17/1999 tanggal 27 Februari 1999. BPPN inilah yang mengambil alih pengelolaan bank-bank BTO. Konsep dasar penyehatan terhadap BTO adalah BPPN mengambil alih seluruh aset kredit BTO yang bermasalah (NPL) berikut jaminannya.

Tujuan pengambilalihan aset NPL ini adalah agar secara akuntansi laporan keuangan bank menjadi sehat kembali dan bank BTO terkait bisa lebih fokus dalam menjalankan bisnis secara normal karena tidak diganggu lagi oleh aktivitas untuk menyehatkan kembali aset NPL-nya (recovery asset). BPPN-lah yang kemudian memiliki tanggung jawab dalam memulihkan kembali aset NPL tersebut, baik melalui restrukturisasi maupun penjualan aset NPL berikut jaminannya.

Meski secara akuntansi laporan keuangan bank menjadi sehat kembali, namun aset bank BTO terkait menjadi berkurang sebagai akibat dari pengambilalihan aset NPL oleh BPPN. Karena telah mengambil alih aset milik bank BTO, maka BPPN harus menggantinya dengan aset yang nilainya setara. Pemerintah lantas menerbitkan obligasi rekapitalisasi sebagai “ganti rugi” atas aset NPL yang telah ditransfer (asset transfer kit) ke BPPN. Dalam kasus BCA, akibat kebijakan rekapitalisasi ini, BPPN kemudian menjadi pemilik sekitar 92,8 persen atas saham BCA. Nilai obligasi rekap yang diinjeksikan ke bank-bank yang berada dalam penyehatan BPPN sekitar Rp430 triliun, untuk menggantikan aset NPL yang diambil alih BPPN sekitar Rp553 triliun.

Atas transaksi peralihan aset NPL dan injeksi obligasi rekap inilah lantas timbul implikasi perpajakannya, sebagaimana yang dialami BCA waktu itu. Sebelum BCA menjadi BTO, pada 1998 BCA mengalami kerugian fiskal Rp29,2 triliun akibat krisis ekonomi. Dan sesuai UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan, Keputusan Menteri Keuangan No. 117/1999 dan Keputusan Gubernur Bank Indonesia No. 31/1999, BCA dapat menggunakan kerugian fiskal tersebut sebagai kerugian yang dikompensasikan dengan penghasilan (tax loss carry forward) mulai tahun pajak berikutnya sampai dengan 5 tahun berikutnya.

Selanjutnya sejak 1999, BCA melaporkan laba fiskal 1999 tercatat Rp174 miliar. Namun, berdasarkan pemeriksaan pajak yang dilakukan pada 2002, Ditjen Pajak (DJP) melalui Direktur PPh mengoreksi laba fiskal BCA pada 1999 tersebut dari Rp174 miliar menjadi Rp6,78 triliun. Di dalam koreksi laba fiskal tersebut terdapat sekitar Rp5,77 triliun yang oleh BCA disebutkan sebagai aset NPL yang dialihkan ke BPPN melalui transaksi Jual Beli. Menurut BCA, karena aset NPL sudah berada di BPPN, segala hak yang timbul dari aset NPL tersebut, semestinya menjadi kewenangan BPPN termasuk hasil recovery atas aset tersebut. Pada 2003, terdapat agunan yang berhasil ditagih sebesar Rp3,29 triliun dan seluruh hasil penjualan tersebut menjadi milik BPPN. Sehingga, menurut BCA, karena hasil recovery asset tersebut masuk ke BPPN, maka tak ada PPh yang harus dibayar oleh BCA.

Di sisi lain, pihak pemeriksa pajak DJP berpendapat bahwa transaksi aset senilai Rp5,77 triliun tersebut sebagai dianggap penghapusan piutang macet. Sehingga, hasil dari recovery asset seharusnya dicatatkan sebagai penghasilan dan karenanya BCA dianggap memiliki utang pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, DJP mengirimkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) kepada BCA. BCA lantas mengajukan keberatan kepada DJP atas koreksi laba fiskal tersebut.

Perbedaan sudut pandang antara BCA dan DJP terkait dengan koreksi laba fiskal tersebut juga telah melalui proses di Pengadilan Pajak. Pengadilan pajak diberitakan telah menerima banding yang diajukan oleh BCA tersebut (Hukum Online, 15 Mei 2007). Selanjutnya, Dirjen Pajak telah menerbitkan penetapan sebagai pelaksanaan putusan pengadilan tersebut dan dinyatakan dalam SK No. KEP-870/PJ.44/2004 tanggal 18 Juni 2004.

Dalam perkembangannya, DJP ternyata membawa kasus pajak BCA ini ke Mahkamah Agung/MA (Hukum Online, 15 Mei 2007). Keputusan untuk membawa kasus pajak BCA ke MA ini sesungguhnya juga menjadi tafsir bahwa DJP sejatinya tidak bisa menerima seluruh keputusan yang telah dihasilkan oleh Pengadilan Pajak saat itu dan juga telah ditetapkan oleh Dirjen Pajak (tahun 2004). Sayangnya, hingga saat ini, kita belum memperoleh informasi terkait dengan hasil dari keputusan MA atas kasus pajak BCA tersebut.

***

Berdasarkan kronologis di atas, terlihat sekali bahwa kasus pajak BCA ini bermula karena adanya tafsir yang berbeda terkait dengan status dan perlakuan terhadap suatu aset bank BTO. Perbedaan tafsir ini, tidak hanya terjadi antara DJP (selaku fiskus) dengan wajib pajak (dalam hal ini BCA), tetapi di internal DJP sendiri terjadi perbedaan, baik antara Dirjen Pajak Hadi Purnomo dengan Direktur PPh saat itu, maupun antara Dirjen Hadi Purnomo dengan penggantinya Darmin Nasution. DJP dalam hal ini sesungguhnya telah cukup bijak dalam mencari solusi untuk memecahkan kebuntuan atas kasus pajak BCA ini dengan membawanya ke MA. Dan keputusan MA inilah yang akan menjadi wasit yang paling akhir dalam menentukan status pajak BCA tersebut.

Saya berpendapat bahwa meskipun dalam kasus pajak ini, negara berpotensi dirugikan karena hilangnya penerimaan pajak, namun kasus pajak BCA ini adalah murni karena sengketa pajak dan terjadi karena adanya perbedaan tafsir. Kerugian negara tentunya tidak akan terjadi manakala sudah ada putusan MA yang mengikat terkait dengan status pajak BCA tersebut. Dengan demikian, kalau kemudian KPK menetapkan mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo sebagai tersangka, mungkin KPK memiliki bukti-bukti lain yang menguatkan bahwa kasus pajak BCA ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi.

Dalam hal ini, saya tidak bisa menduga-duga dibalik kasus ini. Kita semua harus menghormati proses hukum, baik proses hukum terkait sengketa pajak yang kabarnya sudah ada di MA maupun kasus pidana korupsinya yang kini ditangani oleh KPK. ***

Pertanyaan saya: mengapa kedua orang yang terbilang mumpuni ini memiliki pendapat yang sama terhadap persoalan pajak BCA ini? Saya yakin, seribu pakar perpajakan akan mengatakan hal yang sama terhadap kasus pajak BCA ini.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun