Kalimat-kalimat terakhir diatas, yang keluar dari mulutku saat hendak berpisah dengan ibuku, semakin ku ingat, semakin membuat diriku bersedih. Aku tak pernah menyangka akan menghadapi kenyataan pahit seperti saat sekarang ini. Sebagai seekor anjing jantan dewasa, aku harus siap, aku harus kuat, tetap tegar, aku tak mungkin bersedih sepanjang waktu. Aku harus berjuang untuk kehidupanku sendiri, di hutan asing yang sepi tanpa ibuku lagi yang menemani.
***
Tanpa terasa, tahun berganti tahun telah aku lalui di hutan ini. Bukan hanya sekali, sudah beberapa puluh kali nyawaku harus terancam karena berjuang untuk bertahan hidup di sini. Hal itu sering terjadi di awal-awal tahun ketika aku mulai belajar mandiri hidup bebas di tengah-tengah alam hutan yang masih liar nan asri.
Masa dan musim kehidupan selalu silih berganti. Setelah aku mandiri, hutan yang aku huni harus mengalami bencana kebakaran besar yang disebabkan oleh ulah para manusia yang hanya mementingkan diri sendiri. Tidak ada pilihan lain, aku dan teman-teman yang aku kenal di hutan ini harus segera mengungsi atau kami harus mati di tengah-tengah kobaran api. Bonie, si gajah yang ekornya menyerupai ekor kuda poni sahabat terbaikku selama ini ternyata masih berat hati untuk mengungsi.
“Apakah semua manusia serakah di bumi? Lihatlah seluruh alam hutan ini, mereka tak menyisakan sedikitpun lagi, lalu kemana kita hendak melangkah pergi, Ochiek?”