Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) adalah salah satu dari tiga Taman Nasional yang menjadi bagian dari kawasan Hutan Hujan Tropis Sumatera. Taman yang terletak di ujung barat daya pulau Sumatera ini dan tercatat sebagai salah satu situs Warisan Dunia dalam keadaan bahaya oleh UNESCO sejak tahun 2011 kembali menggemparkan dunia dengan kabar kematian para penghuni taman-nya. Bulan Maret 2015 dunia dikejutkan dengan adanya temuan seekor Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) di Resor Sekincau TNBBS, ditemukan dalam keadaan terluka parah dengan kaki bagian paha sebelah dalam, sekitar alat kelamin dan rahang bagian bawah hampir saja membusuk. Setelah sang harimau yang sakit itu dibawa ke Bandar Lampung untuk dirawat, dalam hitungan jam akhirnya harus menghembuskan nafas terakhir.
Hampir dua minggu berlalu sudah sejak kabar kematian Gajah Yongki yang menghebohkan dunia netizen dengan tagar #RIPYongki, termasuk juga di kalangan para artis/selebritis yang ikut mengecam tindakan si pembunuh gajah yang bejat itu. Seperti diketahui, Yongki adalah seekor gajah liar yang berhasil dididik dan dibina untuk menjadi bagian dari Tim Pasukan Gajah Reaksi Cepat (Elephant Flying Squad atau EFS) milik TNBBS, sebuah tim yang dibentuk dalam upaya penyelesaian konflik gajah liar dengan manusia. Untuk mengenal EFS lebih lanjut, pembaca dipersilahkan menelusuri tulisan ini.
Berdasarkan pemberitaan Kompas.com, Posko Pemantauan TNBBS wilayah Pemerihan, Lampung Barat, lokasi ditemukannya tubuh gajah Yongki pada hari Jumat pagi (18/09) disatroni pencuri sekitar pukul 04.00 pagi dinihari. Mereka membunuh gajah Yongki dan mencabut gadingnya. Namun, benarkah demikian adanya?
Jejak pertama, lokasi kematian gajah Yongki tidak jauh dari area pos pengawasan Resor Pemerihan TNBBS. Lokasi ini hanya berjarak sekitar tiga ratus meter di belakang Pos yang dimaksud. Info yang beredar di lapangan menyebutkan adanya usaha memisahkan Yongki si gajah jantan dari teman-temannya pada Kamis malam itu dengan alasan Yongki dalam keadaan birahi.
Jejak kedua, gajah Yongki berada dalam pengawasan penuh, karena berada dalam lokasi pos pengawasan, Yongki tidak sendirian, ada petugas penjaga keamanan dan pawang gajah/mahot berada tidak jauh dari lokasi tersebut.
Jejak ketiga, dari hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) yang dilakukan oleh pihak Balai Besar TNBBS, tidak ditemukan tanda-tanda aneh di sekitar lokasi kejadian. Tidak ada jejak-jejak orang asing mencurigakan, tidak ada bekas-bekas penganiayaan, tidak ada ditemukan bekas tanda milik tubuh Yongki yang sedang mengamuk.
Jejak keempat, setelah tubuh Yongki diteliti dan diperiksa di lokasi TKP, tidak ada ditemukan bekas peluru akibat tembakan, mulut tidak berbusa, dan tidak bau sedangkan lidah terlihat membiru, tidak ada tindakan kekerasan yang dialami oleh Yongki kecuali bekas potong gading. Pemotongan itu dilakukan secara paksa (dicabut paksa) dari tubuhnya. Tidak ditemukan ceceran darah berlebihan pada tubuh Yongki kecuali di ujung ‘tempat’ cabut paksa gadingnya. “Setiap organ tubuh Yongki dalam keadaan normal, memang ada ditemukan cacing paramphistomum di usus besarnya, tetapi tidak menimbulkan infeksi yang serius”, kata Timbul Batubara Kepala Balai Besar TNBBS Lampung.
Jejak kelima, kematian gajah Yongki terjadi dalam kurun waktu tiga bulan terakhir ini sejak adanya peralihan tanggung jawab, yang sebelumnya melibatkan pihak Worldwide Fund for Nature (WWF) Indonesia Site Sumatera Bagian Selatan, untuk saat ini tanggung jawab dalam urusan biaya perawatan dan pemeliharaan beberapa ekor gajah jinak EFS yang bertugas di kawasan hutan TNBBS beserta para pawang gajahnya dikembalikan kepada pihak Balai Besar TNBBS.
Jejak keenam, dalam minggu ini, setelah meresponi kematian gajah Yongki, para netizen kembali dihebohkan dengan munculnya sebuah petisi yang ditulis oleh Wisnu Wardana, seorang dokter hewan yang pernah menangani kasus autopsi gajah-gajah mati akibat keracunan atau dibunuh untuk diambil gadingnya. Melalui petisi online lewat change.org, dokter ini melihat ada kaitan yang erat antara praktek ilegal jual beli gading, ‘pernak pernik’ lainnya milik sang gajah dengan praktek kejahatan pembunuhan gajah.
Seperti prinsip ekonomi yang menegaskan dimana ada penjual, disitu pasti ada pembeli. Dimana ada permintaan gading gajah oleh manusia untuk dijadikan sebagai bahan pengobatan atau hanya untuk sekedar mendukung gaya hidup modern-nya, disitulah akan selalu muncul usaha untuk mendapatkan gading gajah dengan segala cara termasuk dengan membunuhnya.
Akhir kata, usut tuntas segala tindak kejahatan atas nama satwa dan mari jadikan diri kita sebagai individu yang peduli dengan lingkungan sekitar, jadilah konsumen yang cerdas dengan memilih produk secara bijak untuk menyelamatkan lingkungan bumi dari ancaman kepunahan.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H