Sebagai orang awam yang bukan berlatar belakang ilmu hukum, tidak gampang menjawab pertanyaan beberapa kawan Kompasianers yang dengan giat-giatnya menuliskan perjuangan salah seorang terpidana kasus narkoba untuk terlepas dari hukuman mati yang sesuai jadwal eksekusi dilaksanakan Rabu tengah malam tadi (29/04). Pertanyaan sama yang juga muncul di e-mail pribadi saya, Reidnash layakkah ia dihukum mati?
Hukuman mati. Dari perspektif manakah melihat ‘kedalaman’ kasus hukuman mati seseorang layak atau tidak layak? Mudah sebenarnya untuk mengabaikan pertanyaan yang diemailkan tersebut dengan alasan, pertama, saya bukan ahlinya di bidang hukum, baik itu pidana ataupun perdata, kedua, sebagai warga negara yang taat dengan peraturan, saya memiliki kewajiban untuk mendukung keputusan pemerintah terkait wacana hukuman mati, apalagi wacana tersebut berkaitan dengan status negara Indonesia dalam keadaan darurat bahaya narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba).
Beberapa hari yang lalu, menjelang pelaksanaan eksekusi mati, media di tanah air kembali diramaikan dengan topik perbincangan seputar pro kontra hukuman mati termasuk di media kesayangan kita, Kompasiana. Saya yang pada awalnya cuek, cukup tersentak setelah mendapat pemaparan lengkap mengenai latar belakang seorang terpidana mati dan satu-satunya wanita yang tergabung dalam daftar eksekusi mati itu. Dia adalah Mary Jane Veloso (MJV), sosok fenomenal yang menghiasi berbagai pemberitaan media hingga saat ini. Ketika delapan terpidana mati lainnya diberitakan pihak keluarga masing-masing dalam keadaan berduka karena sudah di-eksekusi oleh regu tembak, Rabu tengah malam tadi, di pihak MJV malah sebaliknya, ada luapan kegembiraan yang luar biasa dan rasa syukur tak tertahankan karena eksekusi MJV ditunda.
MJV dengan status sebagai seorang kurir narkoba (di beberapa media malah menjulukinya sebagai gembong alias ratu-nya narkoba) dalam penjelasan lewat e-mail menyebutkan yang bersangkutan menjadi kurir tanpa sepengetahuannya, ditipu dengan iming-iming pekerjaan palsu, dibekali heroin secara sembunyi-sembunyi dan diarahkan pergi ke Indonesia. Setelah ditangkap, MJV diadili tanpa dipenuhi hak-haknya untuk dapat berbicara dalam bahasanya. MJV tak mengerti bahasa Indonesia dan bahasa Inggrisnya patah-patah. Berkali-kali ditekankan MJV hanyalah seorang buruh migran asal Filipina yang menjadi korban sindikat perdagangan narkoba. Anda percaya begitu saja? kalau saya tidak. Saya masih yakin dengan proses peradilan yang telah dijalani MJV selama ini.
Selasa (28/04), dalam hitungan jam menuju waktunya eksekusi mati, yang membuat saya kaget adalah munculnya seorang wanita yang diakui sebagai penipu-nya MJV. Wowww ! Ini sebuah skenario baru lagi? Di negara-nya MJV, wanita yang bernama Maria Kristina Sergio dengan sukarela menyerahkan diri kepada polisi setempat dengan alasan mencari perlindungan setelah mendapat ancaman pembunuhan. Jadi menyerahkan diri karena merasa bersalah? Tentu saja belum terbukti kepastiannya, meskipun dalam beberapa pemberitaan media, wanita ini-lah beserta pasangannya Julius Lacanilao adalah orang-orang yang merekrut MJV, menjanjikan pekerjaan di Malaysia, dan sebelum memulai pekerjaannya MJV dimintanya berangkat ke Yogyakarta dengan membawa 2,6 kg heroin.
Layakkah Maria Jane Veloso dihukum mati? Kembali ke pertanyaan semula, sekali lagi, sebagai seorang warga negara, kewajiban saya adalah taat dengan konstitusi yang telah ditetapkan, akan tetapi sebagai seorang pribadi yang bebas untuk berpikir dan menyatakan pendapat, yang namanya dihukum itu bukan perkara yang menyenangkan, apalagi hak kita untuk hidup dicabut. Jika saya sendiri di posisinya MJV, bersediakah untuk dihukum mati? Tidak akan ada seorangpun bersedia kecuali mereka yang berputus asa dan memilih bunuh diri sebagai jalan keluarnya. Dalam sebuah kisah, Sang Maha Guru sepanjang zaman & abad pernah diperhadapkan pertanyaan hampir serupa. Seorang perempuan yang tertangkap basah ketika sedang berbuat zinah, dengan hukum yang berlaku di zaman itu, perempuan itu harus dilempar batu sampai mati. Apakah pendapat Sang Guru tentang hal itu? Dia hanya membungkuk dan menulis dengan jarinya di tanah, dan ketika pertanyaan itu terus menerus ditanyakan kepadanya, Sang Guru bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka : “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu”, lalu ia kembali membungkuk dan menulis di tanah. Apa yang terjadi selanjutnya, setelah mendengar perkataan itu, pergilah mereka meninggalkan perempuan itu seorang demi seorang, mulai dari kaum yang tertua.
Tebakan kawan-kawan Kompasianers tentang isi email itu memang benar. Tidak salah lagi, sebagian isi yang saya utarakan di atas adalah petunjuk mengenai isi sebuah petisi yang mengajak saya untuk menyerukan aksi penyelamatan MJV dari hukuman mati. Saya memang menjawab dan menandatangani petisi tersebut karena saya tidak dapat menolak suara hati nurani saya yang berbicara keras tentang arti sebuah pengampunan sebagaimana yang diteladani oleh Sang Guru dalam kisah tersebut. Terlepas apakah petisi ini menang atau tidak, apakah Presiden Jokowi Widodo akan meninjau ulang grasi MJV tahun lalu yang telah ditolaknya setelah proses eksekusi mati ini ditunda hari ini, saya secara pribadi sepenuhnya menyadari dan telah belajar dari MJV betapa berartinya sebuah pengampunan dan tiada ternilainya arti sebuah kehidupan yang dikaruniakan oleh Sang Maha Empunya Kehidupan.
Selamat berjuang Maria Jane Veloso dan rekan-rekan. Salam Kompasiana.
sumber ilustrasi : sini, sini dan di-sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H