Sahabat perempuan saya, bernama Megawati, pernah menangis. Wanita memiliki kepekaan hati yang membedakan-nya dengan kaum lelaki. Tangisan perempuan, dengan air mata berlinang di pipi terkadang sangggup meluluhkan hati para pria. Air mata kebahagiaan atau penderitaan ? Hanya dia sendiri yang memendam rasa.
Kisah ini tentang air mata seorang Mega. Kami memanggilnya Ibu Mega, nama lengkapnya Dyah Permata Megawati Setyawati Sukarnoputri. Dia jelas bukan sahabat saya, dia adalah tokoh ternama dan berpengaruh di negeri ini. Dia, Presiden Republik Indonesia Kelima, dan sampai saat ini masih menjadi Ketua Umum Partai berlambang Kepala Banteng dengan warna dasar merah dan hitam.
Tahun 2014, tahun politik di negeri Republik tercinta ini. Momentum perjalanan kehidupan bangsa unutk perubahan ke arah yang lebih baik. Event akbar sedang menanti, pemilihan anggota legislatif dan pemilihan Presiden untuk masa jabatan lima tahun mendatang menjadi bagian terpenting dalam agenda politik tahun ini. Rakyat sudah siap berpesta demokrasi ?
Pesan Ibu Mega, “ Jangan Salah Pilih !”. Menjelang ulang tahun-nya yang ke 67, beliau muncul di acara talk show salah satu stasiun televisi swasta, malam tadi. Bagaimana mungkin rakyat memilih dengan baik, dengan pengetahuan tentang politik yang ala kadar-nya saja ? Sudah cerdas-kah bangsa ini atau kesannya malah dibodoh-bodohin akibat berbagai masalah yang menimpa di pelosok Negeri? Pendidikan politik untuk rakyat Indonesia masih menjadi ‘pekerjaan rumah’ yang belum dituntaskan bersama-sama.
Lantas, mengapa Ibu Mega pernah menitikkan air mata di berbagai event pidato-nya, termasuk di acara malam tadi ? Ada dua poin yang menarik, saat Ibu mengungkapkan curahan hati. Pertama, kemiskinan rakyat di berbagai sudut ruang negeri telah menggetarkan mata hatinya. Ibu merindukan Republik, dengan bangsa yang kaya. Indonesia, seperti kita ketahui, negeri yang berlimpah kekayaan alam-nya walaupun rakyat sepenuhnya sadar, masih banyak bertebaran ‘mental miskin’ yang identik dengan mental korup di kalangan pejabat, pembodohan yang masih mengikat bangsa dan masih banyak yang lain lagi. Ibu Pertiwi masih menangis, merintih bukan karena penjajahan bangsa lain lagi. Ini-lah jeritan penderitaan kemiskinan rakyat negeri.
Poin yang kedua, saat Ibu Mega dari lubuk hatinya yang paling dalam, masih bercita-cita melihat 'Indonesia Raya'. Banyak makna yang mungkin dapat saja terungkapkan dari pernyataan ini, uraian analisa para pengamat politik,para tokoh pendidik, dan sebagainya. Maaf, bukan ini yang sedang di-bahas. Melihat Indonesia Raya adalah melihat Ibu Pertiwi. Konstitusi Republik ini pernah berguncang tapi spirit perjuangan para tokoh di masa lampau tetap mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ber-semboyan Bhinneka Tunggal Ika ! Inilah renungan sejati anak negeri.
Teruntuk Ibu Mega yang menyempatkan diri membaca tulisan sederhana ini, izinkan kami mengucapkan Selamat Ulang Tahun buat Ibu, di hari ini !
Terima kasih, Ibu !
Semangat yang tak pernah pudar akan kami wariskan selalu.
Terima kasih, Ibu !
Renungan indah tentang melihat Indonesia Raya.
Terima kasih, Ibu !
Engkau senantiasa ada di hati anak negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H