Ayah bercerita se-malam dia mimpi buruk. Dengan muka-nya yang tanpa ekspresi, aku melihat adanya raut kesedihan di antara goresan garis yang menghiasi wajah gantengnya. Jujur, dia sebenarnya berat hati untuk mengungkapkannya karena mimpi itu berhubungan dengan diri-ku.
Dengan teknik rayuan dan bujukan ala seorang anak yang ngotot, ya ngotot-nya persis seperti ngotot ketika minta dibelikan sesuatu, akhirnya Ayah membuka suara dan mulai menceritakan mimpi singkatnya.
Dalam keluarga kami, didikan Ayah untuk anak-anak-nya tidak menggunakan cara seorang pemimpin diktator. Ayah menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi, dengan berusaha memberikan setiap anak kebebasan memilih, menyatakan pendapat walaupun terkadang Ayah kewalahan menghadapi kami, anak-anaknya yang menurut beliau punya se-gudang potensi, punya sejuta mimpi, tapi masih sering ngotot dan belum mampu melihat realita yang sungguh nyata di balik setiap impian kami.
Membahas tentang mimpi, jadi ingat Eyang Sang Penafsir Mimpi, tapi bukan Eyang Pakde Kartono loh ya, hihihiiiiiii (maaf ya Eyang Pakde, bukan sengaja untuk menghadirkan Eyang disini). Eyang tersebut bercerita mimpi kita adalah bunga tidur dan alam nyata itu berbeda dengan alam mimpi. Lewat mimpi seringkali kerinduan dan harapan hati diwujudkan.
Ayah bermimpi tentang seorang anak berusia sekitar 3,5 tahun, sedang berusaha menyeberangi jalan. Saat itu kondisi lalu lintas sangat padat dan tidak ada jembatan penyeberangan khusus pejalan kaki. Anak itu digandeng oleh Ayah dengan tangan kiri-nya dan tangan kanan Ayah menggandeng Ibu. Ayah melihat jelas wajah anak tersebut adalah diri-ku.
Dalam mimpi itu, aku melihat ada keganjilan teknis. Pertama, pada saat menyeberang jalan, berdasarkan cerita Ayah arus lalu lintas bergerak dari arah kiri menuju ke kanan, lantas mengapa posisi anak kecil itu di-gandeng oleh tangan kiri-nya ? Bukan-kah sebaiknya tangan kanan Ibu yang menggandeng tangan si anak ? Kedua, kecelakaan tersebut berdasarkan cerita Ayah, terjadi pada saat anak tersebut berusaha menyeberangi jalan sendirian, dengan melepas tangan Ayah, mencoba berlari ke arah depan, Ayah berteriak kencang bersamaan dengan lajunya sebuah mobil sedan yang tidak sempat lagi mengerem memperlambat kecepatannya, dan tabrakan itu-pun akhirnya tak dapat dihindari. Salah-kah si anak, dengan rasa ingin tahunya padahal dia tak tahu apa-apa, dengan tindakan kilat itu, membuahkan kesengsaraan?
Apa yang terjadi selanjutnya? Ayah shock, histeris dan langsung terbangun dari mimpi buruk itu. Banyak orang mencoba berusaha mencari tau, apa artinya mimpi kalo seandainya mengalami hal yang sama. Apakah pertanda sang anak ber-umur panjang (katanya), atau Ayah akan segera memperoleh rejeki (katanya) atau malah ada tanda-tanda musibah dalam keluarga (katanya lagi). Apapun pendapat orang tua-tua itu alias orang pintar, bila berhubungan dengan hal yang positif, kita terima sebagai motivasi untuk lebih semangat lagi dalam setiap aktivitas, dalam setiap proses pencapaian sebuah misi dan dalam setiap usaha kita mewujudkan impian hidup, dan bila nasehat itu berhubungan sebagai sesuatu yang ber-aura negatif, kita terima sebagai peringatan untuk lebih berhati-hati, lebih bijak dalam bersikap dan mengambil keputusan. Hidup ini adalah pilihan dan masa depan itu sendiri bukan kita yang tentukan.
Selamat beraktivitas buat semuanya, selamat menyambut akhir pekan ini, mari sambut hangatnya mentari yang bersinar menjadi harapan indah untuk berbuat yang lebih baik lagi, yang lebih hebat lagi untuk diri sendiri, keluarga dan orang-orang di sekitar kita.
Salam Kompasiana.
[caption id="attachment_328919" align="aligncenter" width="340" caption="dok. pribadi"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H