Mohon tunggu...
Michael Timothy
Michael Timothy Mohon Tunggu... Akuntan - Writer, worker, reader, accountant

Writer, worker, reader, accountant

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Apakah Kekerasan di Hong Kong dan Papua adalah Sebuah Solusi?

3 September 2019   20:29 Diperbarui: 3 September 2019   20:37 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.nbcnews.com/news/world/hong-kong-protesters-take-their-pro-democracy-cause-airport-n1034946

Sudah lebih dari 2 bulan unjuk rasa yang diikuti dengan kerusuhan terjadi di Hong Kong (HK), China. Demo yang diawali sebagai protes atas Extradition Bill, yang mana menurut rancangan UU ini, warga HK dapat dideportasi ke otoritas China jika dianggap melanggar peraturan di China.Sebatas info HK sendiri merupakan kawasan dengan otonomi khusus di China (Special Administrative Region/SAR). HK SAR ini sendiri mirip dengan Daerah Khusus Aceh, Yogyakarta, dan Jakarta. Hanya perbedaannya secara singkat adalah HK SAR sudah hampir menjadi negara sendiri, berikut hak istimewa HK SAR:* Bebas mencetak mata uang sendiri (Hong Kong Dollar) dan memiliki bank sentral sendiri
* Kebebasan press, dan hak asasi manusia yang lebih besar dari pada di China
* Hukum yang ketat karena hakim di Hong Kong masih menggunakan sistem peradilan yang meniru sistem di Inggris, dan banyak hakim HK SAR merupakan warga negara asing
* Bebas memiliki kesepakatan dagang dengan negara lain
* Memiliki kantor perwakilan sendiri di negara lain
* Dllnya

Namun setelah beberapa saat unjuk rasa berlangsung, clash dengan Polisi HK pun tidak terhindarkan. Demonstran pun mulai melakukan aksi kekerasan mulai dari membakar fasilitas publik, merusak stasiun bawah tanah (MTR), menduduki bandara HK, vandalisasi gedung DPRD HK (Legco Building), melempar bom molotov, hingga menyerang kantor polisi, dan gedung pemerintah HK.

Tentu saja, setiap masyarakat HK diberikan hak untuk berdemo, namun melakukan tindakan yang keji seperti menusuk polisi off-duty, hingga mengikat reporter di bandara HK bukanlah tindakan terpuji. Tindakan anarkis dan destruktif dapat merugikan semua pihak. Khususnya bagi warga HK sendiri, hal ini dapat terlihat dari penurunan jumlah turis di HK serta menurunnya perekonomian. Anda bayangkan saja jika selama 2 bulan lebih jalanan di kota menjadi ajang pertarungan. Banyak toko yang rusak dan merugi karena sepi pelanggan.

Krisis di Hong Kong ini sendiri terjadi di kala Perang Dagang AS-China. Media asing, khususnya media barat sendiri memang kerap kali, dan saya sendiri sudah melihat kadang melaporkan berita sebelah mata. Mereka lebih menganggap bahwa judul "Polisi menyerang Pendemo" lebih menarik ketimbang "Pendemo merusak stasiun". Hal ini karena media barat hanya ingin mencari keuntungan dari liputan, dan sama sekali tidak peduli dengan konsekuensi atas liputan mereka.

Saking parahnya krisis di HK, media di China pun mulai menyoroti peran AS dan Inggris dalam krisis yang terjadi di HK. Media seperti CGTN menyebut bahwa sejumlah pendemo didukung oleh kekuatan asing.

Lantas apakah solusi secara damai seperti dialog dan perundingan sudah gagal?
Saya rasa, tindakan anarkis dengan mengatasnamakan demokrasi adalah hal yang cacat. Hal ini karena demokrasi sangat berbeda dengan anarki. Demokrasi adalah memberikan hak secara adil kepada seluruh orang untuk memilih. Sementara anarki adalah upaya secara sporadik dan penuh kekerasan dengan tujuan mendapatkan yang diinginkan.

Krisis di HK juga menarik untuk kita cermati di tengah Krisis Kekerasan di Papua. Meskipun sayang kondisi di Papua tidak diliput sedalam dan secermat di HK. Namun pemerintah pun sudah mulai melayangkan tudingan adanya aktor asing dalam krisis ini.

Kita yang di Jakarta pun hanya bisa mengamati dari jauh perihal kondisi dan situasi di Papua. Namun sebagai WNI, saya tetap optimis, bahwa krisis Papua bisa terselesaikan tanpa adanya kekerasan, apalagi sampai harus berbulan-bulan seperti di Hong Kong.

Kekerasan hanya akan membuat nilai-nilai yang diperjuangkan menjadi nihil. Kekerasan tidak hanya melukai semua orang, tapi juga merusak moral generasi muda. Bayangkan jika pemuda-pemudi menjadi terpatri dan berpikir bahwa hanya dengan kekerasan maka bisa selesai. Habis sudah upaya pembangunan dan pemerataan ekonomi yang sudah dijalankan. Mindset anarkis harus dihapus, tapi ini saja tidak cukup.

Setiap pihak yang terlibat termasuk pemerintah pun harus bisa sabar dan jangan terprovokasi. Terlebih lagi, setiap pihak harus mau bernegosiasi, dan berkompromi.
Kompromi bukanlah hal yang terlarang. Layaknya ke pasar, kalau tidak kompromi harga, maka tidak terjadi kesepakatan. Tapi tetap ingat kompromi berarti "win-win solution", bukannya "I win, you lose".

Gambar: https://www.nbcnews.com/news/world/hong-kong-protesters-take-their-pro-democracy-cause-airport-n1034946

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun