Baru-baru ini kita dikejutkan dengan kabar dari dunia pendidikan. MOS atau Masa Orientasi Siswa yang seharusnya menjadi momen pengenalan siswa-siswi berubah menjadi ajang pamer dan unjuk gigi dari para senior. Hal yang sama dapat kita lihat pada OSPEK yang berlangsung di tingkat perguruan tinggi.
Masa MOS
Dulu saat SMA saya juga pernah mengalami MOS. Pada saat itu pihak sekolah menyebutnya MOPDB atau Masa Orientasi Peserta Didik Baru (jika saya tidak salah). Saya masih ingat pada hari Jumat sebelum hari Senin dimana MOPDB dimulai, kami diberi arahan terlebih dahulu. Awalnya ada beberapa kata sambutan dari pihak sekolah. Sampai kemudian arahan dari kakak kelas atau disebutnya pada saat itu Panitia MOPDB. Kami diminta untuk membawa beberapa hal, diantaranya:
- Membawa name tag yang dibuat dari karton dengan ukuran proporsional tubuh kita. Name tag itupun harus dipotong menyerupai hewan-hewan sesuai dengan pembagian grup yang telah dilakukan sebelumnya.
- Khusus untuk perempuan, semua rambutnya harus dikuncir dua dengan pita.
- Name tag yang dibuat harus dibawa dan dipakai beberapa meter sebelum memasuki area sekolah.
Para kakak kelas pun bahkan sampai menunggu diluar area sekolah untuk memastikan adik-adik kelas mereka menggunakan name tag yang sebenarnya cukup memalukan untuk digunakan. Kami pun diminta masuk ke kelas masing-masing kemudian.
Pada pukul 7.30 WIB (jika tidak salah) kami harus melakukan semacam latihan paskibra yang dinamakan PBB (sayang sekali sampai detik ini saya masih tidak mengetahui kepanjangannya). Kami dilatih upacara bendera. Namun sayangnya perlakuan yang kami terima mengejutkan. Kakak kelas memukul-mukul pintu kelas, meminta agar para peserta MOPDB bergerak lebih cepat menuju lapangan. Sampai dilapangan pun kami langsung memulai latihan, dan jika terdapat kesalahan kami dihukum push up untuk pria dan skotjam untuk wanita.
Di akhir hari pertama pelaksanaan MOPDB kami diberikan evaluasi yang berlangsung kurang lebih 1 jam. Pada saat itu kami duduk dilantai dan dicerca (mungkin istilah yang saya berikan terlalu esktrem, namun itulah adanya). Kami dicerca bahwa kami lemah, mudah mengeluh, bersikap manja, dsbnya. Yang membuat saya heran lagi guru-guru juga ada disitu, namun malah asik duduk menonton kami dicerca. Kadang nama salah satu peserta yang salah disebut, ada pula yang dipanggil maju. Ketika kami menatap mata sang kakak kelas, kakak kelas tersebut malah melontarkan perkataan: “Berani kamu ngelawan saya.” Sungguh saya tidak mengerti acara macam apa itu, yang memaki-maki pesertanya. Bahkan saat itu, ketika ada satu peserta yang berbuat salah namun tidak berani untuk maju ke depan, kami semua mendapat hukuman jongkok di lantai. Kaki saya pun saat itu sudah kram, dan kakak kelas sendiri sebelumnya sudah dengan lantangnya berkata (tentu saja dengan nada menghina juga): “Dek,.. jika tidak kuat angkat tangan ya..”
Kejadian tersebut masih dengan jelas berbekas di ingatan saya bahkan setelah lebih dari beberapa tahun peristiwa tersebut berlalu. Dalam hati saya berkata, saya tidak ingin hal yang serupa terulang lagi. Saya pun sempat meminta teman-teman saya yang kemudian hari menjadi panitia MOS untuk tidak melakukan hal yang sama. Sayangnya tetap dilakukan…
Masa OSPEK
OSPEK bisa terdiri atas beberapa tahapan, yaitu OSPEK dari universitas atau berlaku untuk semua mahasiswa dari beragam fakultas. Selain itu ada juga OSPEK fakultas yang diikuti masing-masing mahasiswa/i fakultas tersebut. Pengalaman yang akan saya ceritakan adalah saat saya mengikuti kegiatan kebersamaan (namun tetap bisa dikategorikan sebagai OSPEK karena sifatnya yang wajib diikuti dan berlangsung pada awal masa kuliah).
Kami berangkat menuju ke lokasi acara dengan naik bus yang serupa dengan kopaja (tentunya tanpa AC). Di lokasi, kami diminta untuk duduk diteras (pada saat itu sudah pukul 11.00 WIB kalau tidak salah). Tentunya kami menurut, namun seiring dengan cuaca yang panas, kami pun mulai mengeluh. Namun para senior kami malah meminta kami mencopot topi atau apapun itu yang menutupi kepala kami dengan alasan solidaritas kepada teman yang tidak membawa topi atau penutup. Hal yang menurut saya sudah melanggar Hak Asasi seorang manusia. Bagaimana mungkin hanya untuk memakai topi saja kita dilarang, apalagi dengan kondisi matahari yang terik.
Kemudian kami diminta untuk mengeluarkan handphone, dompet, dll karena benda tersebut tidak diperbolehkan kami pegang selama acara berlangsung. Setelah itu tas kami pun digeledah lagi satu per satu layaknya kami ini imigran gelap yang berusaha menyeberang ke perbatasan. Sungguh memalukan tentunya ketika pakaian kami (khususnya pakaian dalam kami di acak-acak oleh orang asing).
Kami pun kemudian melanjutkan kegiatan kami berupa semacam seminar. Setelah itu kami diperbolehkan untuk ke kamar tidur. Sesampainya di kamar tidur, kami terkejut melihat bahwa kami harus tidur di papan kayu yang menjadi penyangga ranjang. Papan tersebut bahkan tidak ditutupi dengan kain, sehingga selimut yang kami punya harus kami gunakan untuk menutupi kayu tersebut. Tentunya hal tersebut sangat menyiksa, mengingat cuaca di lokasi yang cukup dingin di malam hari. Anda bisa membayangkan barak tentara pun tidak hanya beralaskan kayu!
Pada malam hari ketika kami tidur, tiba-tiba kami dibangunkan untuk kegiatan malam hari. Kami pun harus lari dengan napas yang sesak di udara yang dingin. Sebagian dari kami bahkan tidak memakai jaket ataupun pakaian tebal lainnya, dan hanya mengenakan pakaian tidur saja yang tentunya tipis. Kami diminta untuk duduk kembali diteras yang sama seperti siang hari, perbedaannya saat ini dingin. Kami duduk menunggu hingga kelompok kami dipanggil satu per satu. Pada akhirnya saya harus menunggu sekitar 45 menit dengan duduk diteras yang dingin, dengan hanya mengenakan jaket, sandal, dan celana pendek.
Bersyukur
Cerita di atas hanya sebagian dari banyak kisah yang ingin saya ungkapkan. Saya sendiri cukup senang bahwa kini pemerintah mulai memperhatikan dunia pendidikan lebih seksama. Saya pun ingin berterima kasih atas perhatian dan usaha Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Anies Baswedan.
Saya mendukung langkah bapak untuk menuntaskan tindakan bullying berkedok MOS ataupun OSPEK. Karena sampai saat ini, saya kadang masih merasa gugup dan kesal jika mengingat kejadian tersebut. Memori akan teriakan sang kakak kelas di SMA dan senior di universitas masih saya ingat dengan jelas dan cukup membuat saya tertekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H