" http://edukasi.kompasiana.com/2010/08/22/mahasiswa-kedokteran-berpikir/ "
seorang teman sejawat telah menulis suatu tulisan yang cukup inpiratif bagi kita semua. Sungguh benar bahwa seorang dokter merupakan kaum yang berintelegensi tinggi dimana kita harus berfikir lebih lagi dalam mengambil suatu keputusan. Sama halnya dalam membuat diagnosis. Kita harus berhati-hati dalam membuat keputusan.
Sebagai mahasiswa kedokteran, kita dianggap sebagai kaum yang berintelektual tinggi sehingga kita harus berfikir lebih kritis dan lebih luas lagi. Dimana setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, tidak selalu yang terbaik untuk masyarakat. Sebagai salah satu barisan terdepan dalam kesehatan di negara ini, kita dapat melihat hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat. Dan kita harus menyampaikannya. Betul, banyak cara yang dianggap lebih "elegan" dari pada sekedar aksi. Dan itupun telah dilakukan. Namun disaat semua jalan tertutup, apakah kita hanya cukup diam dan melihat masyarakat menderita? Seperti "life saving", ada kalanya seorang dokter harus melakukan segala cara untuk menyelamatkan hidup seseorang.
Benar, suatu standarisasi harus dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan demi keselamatan jiwa para pasien. Sebagai Dokter yang baik di lapangan, yang akan melayani masyarakat, kita tidak cukup hanya dilihat dari pengetahuannya (knowladge) saja. Tetapi juga dari keterampilan (skills), bahkan dari tingkah laku (attitude). Namun, apakah Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang diadakan selama ini sudah representatif dalam standarisasi? Nyatanya UKDI hanya sebatas soal tulisan pilihan ganda sebanyak 200 buah yang harus dikerjakan dalam tiga jam. Belum lagi harus menghitamkan jawaban menggunakan pensil 2B. Perlu kita telaah lebih dalam lagi bahwa ilmu kedokteran bukanlah ilmu eksakta yang menganggap 1 + 1 = 2. Ilmu kedokteran selalu berinteraksi dengan mahkluk hidup. Dan setiap mahkluk hidup mempunyai kespesifikan tersendiri dibanding makhluk hidup yang lain. Itulah sebabnya ilmu kedokteran sering disebut sebagai "the art of the science". Jadi, dengan lulusnya dokter dari UKDI apakah menjamin 100% bahwa dokter tersebut adalah dokter yang dibutuhkan oleh masyrakat? Banyak faktor yang harus difikirkan lagi dalam proses standarisasi.
Dalam meningkatkan pelayanan kesehatan di Indonesia, apakah perlu hanya dokter yang distandarisasi? Ketersediaan obat-obat juga sangat berpengaruh dilapangan. Terutama di daerah-daerah perifer. Dimana dokter mau tidak mau harus mengobati pasien tidak sesuai dengan apa yang sudah diajarkannya.
Sudah 13 kali UKDI diadakan. Namun adakah perubahan yang dirasakan oleh masyarakat? Nyatanya, hampir 1500 dokter yang tidak lulus. Hal ini terjadi bukan dikarenakan para dokter tersebut bodoh. Tetapi hal ini terjadi karena berbedanya cara pandang mereka dalam melihat soal. Seperti yang saya katakan tadi, bahwa ilmu kedokteran bukanlah ilmu eksakta semata dimana 1 + 1 = 2. Akibat dari semua ini, terjadilah kekurangan tenaga dokter di Indonesia. Dimana perbandingan dokter dengan pasien masih 1 : 30.000 jiwa. Hal ini jauh berbeda dengan kondisi ideal dimana perbandinganya ± 1 : 400 jiwa. Dan menurut laporan depkes, masih sekitar 40% puskesmas di Indonesia belum mempunyai tenaga dokter. kini timbul pertanyaan, apakah UKDI menigkatkan pelayanan kesehatan? Ingat kasus mantri misran?
lima, enam, tujuh tahun bahkan lebih seorang mahasiswa kedokteran dididik serta dilatih untuk menjadi seorang dokter. itu bukan merupakan waktu yang singkat dalam proses pendidikan S1. Perlu diingat bahwa untuk mencapai gelar dokter, mahasiswa harus diuji oleh dosen-dosennya yang tentu bergelar profesor dan dokter spesialis yang sangat berkompeten dalam bidangnya masing-masing. Dalam hal ini berarti kita sudah dinyatakan lulus dan layak menjadi seorang dokter oleh beliau yang berkompeten. Namun dengan adanya UKDI, bukankah itu sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap mereka? Sungguh itu merupakan pelecehan terhadap dosen-dosen kita yang mengajar kita. Apakah tidak sebaiknya suatu standarisasi dilakukan sejak awal? Dimana saat seorang mahasiswa kedokteran mulai masuk di bangku perkuliahan? Dengan diadakanya sejak awal, saya yakin standarisasi akan lebih baik dan efektif. Tanpa memperpanjang waktu untuk menjadi dokter. sehingga kebutuhan dokter di Indonesia juga dapat terpenuhi.
Snelli memang merupakan baju "kebesaran" seorang dokter. namun, apaka baju itu harus diagungkan? Saya sempat berfikir, apa perbedaanya snelli dengan baju putih yangg dipakai oleh orang-rang yang berjualan alat kesehatan di mall-mall? Yang membedakannya adalah hanya ilmu yang kita pelajari. Apakah tanpa snelli kita tidak dianggap dokter? untuk berinteraksi dengan pasien, kita tidak membutuhkan snelli. sungguh dangkal sekali bila kita hanya melihat betapa sakralnya snelli itu. Menurut saya, yang lebih tidak layak ialah bila dokter memakai keilmuannya untuk melakukan hal-hal yang tercela, Seperti aborsi.
Baiklah kita sebagai mahasiswa kedokteran dapat berfikir lebih dalam dan lebih kritis lagi. Serta bukan hanya berfikir, tetapi juga melakukan tindakan yang seharusnya kita lakukan. banyak masalah sistem kesehatan di Indonesia yang harusnya dipikirkan oleh mahasiswa kedokteran. Salah satunya adalah hal ini. Dimana bentuk standarisasi harus benar-benar dilakukan dari awal. Bukan sekedar UKDI yang hanya memperlambat tenaga kedokteran dan memakan biaya yang cukup besar. Citra kedokteran dimasa yang akan datang ada di tangan kita. Kita tingkatkan kepedulian dan kompetensi kita dalam menangani pasien. Sehingga akan ada kepuasan antara dokter dan pasien.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H