Mohon tunggu...
Rehan Putri Az
Rehan Putri Az Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Sosiologi UIN JAKARTA

.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas"

18 November 2019   06:27 Diperbarui: 18 November 2019   10:14 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Di Indonesia sendiri, banyak laki-laki dari berbagai kalangan yang melakukan poligami. Sayangnya perempuan dipoligami umumnya karena alasan mereka tidak mampu secara mandiri berdiri sendiri ekonominya sehingga harus ditopang oleh laki-laki. Seksualitas laki-laki pun dianggap lebih besar dibanding perempuan sehingga harus menikahi banyak perempuan. Padahal hal tersebut hanya mitos belaka.

Poligami juga membuat kepuasan hidup perempuan menurun. Kesehatannya pun ikut menurun. Perempuan yang dianggap sudah tidak dapat memuaskan hasrat seksual suami akan dipoligami. Poligami juga bisa keharmonisan keluarga menghilang. Anak pun menjadi korban karena "kecacatan" keluarga yang ia punya. Stigma masyarakat soal poligami pun buruk sehingga keluarga akan lebih bisa depresi karena stigma tersebut. Nabi berpoligami untuk menolong, kalau sekarang cenderung hanya untuk kepuasan seksual secara halal.

Ada lagi soal seksualitas perempuan, yaitu tentang aurat juga jilbabnya. Banyak sekali ayat Al-Qur'an yang menyatakan perempuan untuk menutup aurat dengan memakai jilbab. Bahkan, perempuan diminta memakai cadar demi menjaga kehormatan dirinya maupun keluarganya. Islam juga meminta perempuan untuk berpakaian tertutup karena kemolekan perempuan dianggap menimbulkan dosa dan hasrat untuk laki-laki.

Jilbab pun lantas menjadi tradisi dalam sejarah Islam, awalnya jilbab dan cadar dipakai orang dari kelas atas dan menengah hingga akhirnya semua perempuan yang di Arab ikut memakai cadar juga. Perempuan pun dianggap memiliki sangat banyak kelemahan sehingga harus menutupi dirinya. Padahal penutupan perempuan dengan cadar bukan berarti membuat mereka hanya menjadi gadis yang bodoh.

Jilbab dalam Indonesia pun mulai dilakukan ketika tahun 1979 dengan fungsi yang sama, yaitu untuk menuruti aturan agama. Namun, dulu jilbab hanya dipakai dalam keadaan tertentu. Sebelum akhirnya mulai dipakai ketika keluar rumah selama terus menerus. Jilbab di Indonesia pun dipolitisasi, politisi memakai jilbab untuk menunjukkan citra perempuan alim.

Hukum Islam pada zaman dahulu sangat mendukung laki-laki memegang posisi superior padahal seharusnya sudah tidak lagi karena itu merupakan produk hukum yang menyesuaikan zaman. Produk hukum Islam sudah semestinya dikaji ulang dan disesuaikan dengan keadaan di zaman sekarang. Apalagi persoalan tentang hukum keluarga dalam Islam yang sangat patriarkis, perempuan hanya dianggap sebagai makhluk inferior saja.

Sudah seharusnya kesetaraan gender diterapkan, karena ini bukan di zaman jahiliyah lagi. Peraturan pernikahan harusnya lebih dibuat untuk berlaku adil terhadap perempuan. Perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dibungkam karena produk hukum yang patriarkis, sudah seharusnya hal ini dihilangkan.               

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun