Review buku oleh : Rehan Putri Az Zahwa (1118111000034)Â
Identitas Buku:
Judul: Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas
Penulis: Neng Dara Affiah
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun terbit: Desember 2017
Ukuran Dimensi Buku: 14,5 x 21 cm
Tebal Buku: xi + 200 halaman
ISBN: 978-602-433-555-7
Setiap agama telah memberikan penjelasannya masing-masing mengenai pernikahan, entah itu dalam praktiknya maupun dalam pelaksanaan rumah tangganya. Namun, banyak agama yang memiliki penjelasan yang mirip-mirip terhadap pernikahan itu sendiri. Fungsi pernikahan menurut agama-agama adalah untuk memberikan ketentraman bagi laki-laki dan perempuan yang menikah. Namun, perempuan dianggap menjadi ibu rumah tangga saja dalam pernikahan. Padahal seharusnya tidak selamanya demikian.
Fungsi selanjutnya adalah menghasilkan keturunan. Semakin baik keturunan yang dihasilkan, akan semakin maju pula kehidupannya. Lalu, zina juga dihindari karena adanya pernikahan ini. Sayangnya, yang kerap disalahkan adalah perempuan yang tidak perawan karena zina dibanding laki-laki yang juga sudah hilang keperjakaannya.
Persyaratan untuk menikah dalam agama pun berbeda-beda. Hal lainnya dari syarat menikah yang paling utama salah satunya adalah menikah dengan orang yang seagama supaya jelas keturunan agamanya, supaya anaknya bisa mengamalkan ajaran agama yang telah diberikan orang tuanya.
Pada zaman dulu, perempuan bisa dinikahi oleh banyak lelaki. Perempuan juga harus menuruti kemauan laki-laki. Padahal, seharusnya perempuan tidak diatur-atur sedemikian rupa dan harus diberi kebebasan, tentunya bukan kebebasan yang negatif, seperti menghargai keputusan perempuan yang tidak mau dipoligami, dan tidak merendahkan perempuan.
Ranah pernikahan selanjutnya adalah poligami, yang akan dilihat dari sudut pandang Islam dan Indonesia. Poligami adalah pernikahan yang dilakukan laki-laki dengan dua perempuan atau lebih. Sebelum Islam turun ke bumi, masyarakat Arab telah melakukan poligami. Bahkan, praktik poliandri (perempuan menikahi dua laki-laki atau lebih) semasa itu merupakan hal yang lazim.
Sayangnya, Islam lantas dipandang sebagai agama dengan pembolehan poligami empat istri, padahal memang di Arab sudah banyak laki-laki yang memiliki puluhan bahkan ratusan istri. Rasulullah pun meminta mereka mempertahankan maksimal empat saja. Itu semua dilakukan demi menyesuaikan keadaan di Arab ketika Islam turun. Poligami pun harus dilaksanakan dengan adil, karena kalau tidak adil akan berdosa. Praktik cerai pun sungguh lumrah pada masa itu.
Kemudian setelah Islam lahir, Al-Qur'an menganjurkan laki-laki untuk menikahi janda-janda yang ditinggal wafat pasca perang, maksimal empat istri, dan tentunya harus berlaku adil seadil-adilnya. Ini supaya para janda yang ditinggalkan masih terjamin kehidupan sosial dan ekonominya. Sayangnya, kebanyakan laki-laki berpoligami hanya untuk mendapatkan istri baru yang cantik karena bosan dengan istri lamanya dan membuktikan bahwa laki-laki itu kuat dapat memiliki banyak istri.
Poligami pun masih meramaikan kehidupan para muslim, namun dikatakan malah menjadi salah satu faktor kemunduran akibat terlalu terlena dengan poligami tersebut. Para raja membudidayakan praktik harem, yaitu mereka memiliki beribu-ribu selir. Para elit pun mempraktikkan hal itu juga.
Bangsa barat sendiri menentang keras poligami karena dianggap hal yang tidak bermoral. Menurut beberapa ahli agama Islam, poligami juga dilarang jika dilakukan hanya untuk kesenangan belaka. Manusia juga dianggap tidak akan bisa berlaku sangat adil pada para istrinya. Islam pun menahan hawa nafsu seseorang. Maka berpoligami pun seharusnya tak dilaksanakan karena hawa nafsu, melainkan untuk menolong seseorang.