Regita Pramesti Adiningsih / 067
Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Malang
PENDAHULUAN Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Shalat merupakan salah satu bentuk komunikasi antara Sang Pencipta dengan hambanya. Shalat berjamaah ataupun shalat individu akan tetap terhubung dengan Allah ketika umat muslim khusyuk dalam melaksanakannya. Dalam Islam, apapun yang dikerjakan tentu memiliki hukum syari'ah yang diambil sesuai Al-Qur'an dan Assunnah sebagai pedoman hidup umat manusia di setiap jaman.
Melihat dari sisi hukum dalam melaksanakan ibadah, Islam terdapat beberapa Mazhab yang memiliki pendapat masing-masing untuk dijadikan pegangan dalam melaksanakan suatu kegiatan. Seperti pelaksanan qunut dalam shalat. Perdebatan antara berbagai mazhab terkait pelaksanaan Qunut dalam shalat subuh menimbulkan kedilematisan bagi umat muslim. Berbagai pendapat muncul dengan didasari ayat yang jelas dalam Al-Qur'an dan Assunnah sebagai pondasi dalam menguatkan argument.
Bermakmum bagi yang tidak berqunut sangat menimbulkan berbagai pendapat. Lingkup sosial dan sikap saling menghormati turut ikut serta dalam pembahasan kali ini. Berbagai ayat-ayat Al-Qur'an dan Asunnah tidak luput dari pendapat para mazhab. Maka dari itu sebagai umat muslim menjadikan Al-Qur'an dan Assunnah sebagai dasar atau pedoman dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana fungsi dari kitab tersebut.
PEMBAHASAN
Qunut berasal dari bahasa Arab yang artinya berdiri lama, diam, tunduk, doa, dan khusyuk. Menurut istilah, qunut adalah doa yang dibaca oleh umat muslim ketika sedang melaksanakan shalat. Dari sisi hukum, qunut terbagi menjadi tiga yaitu: Qunut subuh, Qunut subuh adalah doa yang dibaca tepat sebelum sujud ketika shalat subuh. Dalam Mazhab Syafi'I, doa qunut sama dengan doa qunut witir. Bersumber dari hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An Nasa'I, Tirmidzi dan Ahmad.
Qunut nazilah, Qunut nazilah adalah qunut yang dilakukan ketika terjadi kejadian yang besar atau menggemparkan seperti peperangan, bencana alam, dan lainnya. Qunut nazilah dilakukan setiap shalat lima waktu. Qunut witir, Qunut witir adalah qunut yang dilakukan ketika sedang mengerjakan shalat witir. Dilihat dari Mazhab Syafai'I, qunut witir dilakukan selama 15 malam terakhir pada bulan Ramadhan setelah shalat tarawih seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An-nasa'I, Tirmidzi dan Ahmad (SuaraMuslim, 2019).
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum melaksanakan qunut adalah sunnah yang dirujuk pada sejumlah hadist salah satunya yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik "Rasulullah tidak pernah meninggalkan qunut dalam shalat fajar hingga wafat".
Akan tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa qunut hukumnya mansukh (telah dihapuskan) dikarenakan terdapat hadist yang menguatkan bahwa tidak adanya qunut subuh. Perbedaan pendapat tersebut bergantung pada mazhab yang dianut oleh seseorang. Perbedaan mazhab bukan menjadi halangan untuk saling menghormati. Maka yang terpenting adalah berpendapat dengan bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah (Fahmi, 2008).
Dari judul yang telah disuguhkan mendapatkan jawaban yang agak dilematis. Keyakinan perihal qunut seorang imam yang meyakini hukumnya adalah Sunnah abd'adl yaitu disunnahkan dalam shalat dan ketika ditinggalkan baik sengaja maupun tidak maka disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi yang menjadikan sebagai pengganti qunut. Namun di sisi lain, terdapat makmum yang tidak meyakini qunut sebagai sunnah.
Imam atau makmum yang berqunut maupun tidak harus memiliki landasan ayat. Imam yang tidak mengakui legalitas syar'I membaca doa qunut dalam shalat subuhnya sehingga tidak berqunut sedang makmum mengetahuinya maka apresiasi diberikan bila imam memberikan kesempatan bagi makmum yang berqunut dalam shalat subuhnya. Bagaimana dengan sebaliknya? Makmum mengikuti imam yang tidak berqunut akan tetapi qunutnya bisa digantiakn dengan berdoa memuji Allah SWT.
Penganut Mazhab Syafi'I berpendapat bahwa hukum melaksanakan qunut dalam shalat subuh adalah sunnah. Sebagaimana mazhab ini didominasi oleh para sahabat, tabi'in, dan ulama-ulama yang menyatakan adanya qunut dalam shalat subuh. Pendapat ini diyakini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni. Di antaranya yang mengatakan adanya qunut dalam shalat yaitu, Al-Hakim Abu Abdillah dan Al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Balkhi.
Sedangkan penganut mazhab Hanafi mengatakan bahwa qunut dalam shalat subuh tidak disyari'atkan. Imam Abu Hanifa berkata bahwa qunut shubuh adalah bid'ah. Sehingga mazhab Hanafi tidak menganggap kesunahan qunut dalam shalat shubuh.
Dalam hukumnya, imam yang membaca doa qunut ketika shalat sedangkan makmumnya tidak, maka shalat dari imam dan makmum tetap sah. Sebagai bentuk penghargaan mazhab yang dianut oleh masyarakat saat shalat berjamaah. Makmum tidak berqunut, sedang imam berqunut maka tidak merusak keabsahan dari shalat.
Menjadi imam dengan pegangan mazhab Hanafi sedang makmum penganut mazhab syafi'I maka hendaknya imam memberikan kesempatan kepada makmum dengan berhenti sejenak setelah rukuk sehingga makmum dapat membaca doa qunut. Dan bagi pemegang mazhab lainnya, ketika imam  telah memberikan kesempatan kepada makmum hendaknya makmum membaca qunut walaupun notabenenya menganggap qunut bukanlah sunnah.
"Ketika kita membolehkan mengikuti salah satu dari keduanya, maka seandainya penganut Mazhab Syafi'I bermakmum di belakang penganut Mazhab Hanafi dan ia (penganut Mazhab Hanafi) setelah rukuk berdiam sejenak dan memungkinkan si makmum untuk membaca doa qunut, maka bacalah. Jika tidak (berhenti sejenak), maka ikutilah imam." (Abdul Qasim Ar-Rafi'I, dkk, 1417, Juz II, hal. 156).
Perbedaan pendapat tak hanya sebatas hukum qunut dalam shalat subuh, tetapi juga hukum dalam pembacaan qunut ketika shalat. Terdapat dua pendapat yang dilihat dari mazhabnya. Pertama, Mazhab syafi'i berpendapat bahwa pembacaan qunut dengan meninggikan atau merendahkan suara. Pada dokumentsi Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi ada yang berpendapat bahwa membaca qunut dengan suara yang pelan dan rendah sebagaimana qunut yang berarti doa maka posisi doa adalah merendahkan suara. Sebagaimana dalam surah Al-Isra ayat 110:
Katakanlah (Muhammad), "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asma'ul husna) dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam salat dan janganlah (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu."
Pendapat kedua didasari pada analogi atau qiyas yang berpendapat bahwa membaca doa qunut dengan meninggikan suara seperti membaca sami'allahu liman hamidah ketika bagian surah Al-Qur'an (Mahbub, 2013).
Menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu' al-Fatawa, ketika imam akan berqunut maka harus adanya sandaran dalil hukum qunut tersebut begitupula sebaliknya. Sebagai makmum, apapun yang dilakukan imam hendaknya diikuti selagi masih dalam ranah ijtidah. Jika imam berqunut, maka makmum ikut berqunut. Namun apabila imam tidak berqunut makan jangan pernah untuk berqunut sendiri. Syekh Ibnu Utsaimin berpendapat bahwa qunut tidak ada dalam shalat fardu kecuali qunut nawazil. Namun jika berjamaah dan imam membaca qunut, maka hendaklah makmum mengikuti imamnya untuk menolak fitnah dan mempertautkan hati.
Hukum bagi muslim yang biasa memakai qunut ketika bermakmum, tetapi imam tidak berqunut dan dilakukan dalam jangka lama shalatnya tetap sah menurut ittifaq ulama. Bacaan qunut tidak harus dengan redaksi ayat yang telah dikenal, akan tetapi qunut dapat melalui dzikir yang berisi pujian doa kepada Allah SWT. Namun qunut lebih utama dibaca sesuai dengan doa qunut tersebut (Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Al Majmu' syarah).
Dari Abu Sa'id al-Khudri, dia berkata: "Tatkala Rasulullh Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang shalat dengan para Sahabat beliau, tiba-tiba beliau melepaskan kedua sandal beliau, lalu meletakkan kedua sandal tersebut pada sebelah kiri beliau. Ketika para Sahabat melihat hal itu, mereka melepaskan sandal mereka. Setelah Rasulullh Shallallahu 'alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya, beliau bertanya: "Apa yang menyebabkan kamu melepaskan sandal kamu? Mereka menjawab: "Kami melihat anda melepaskan kedua sandal anda, maka kamipun melepaskan sandal kami". Maka Rasulullh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Jibrl Alaihissallam mendatangiku dan memberitahukan kepadaku bahwa pada kedua sandal (ku) itu ada kotoran". (HR. Abu Dwud, dishahhkan oleh al-Albni di dalam Shahh Abu Dwud no:650).
PENUTUP
Menjadi makmum tentu pperlu mengikuti imam yang ada dihadapannya. Hal tersebut untuk menjaga kehormatan dan sikap dalam melaksanakan ibadah shalat berjamaah. Dari berbagai pendapat yang telah dipaparkan di atas, menjadi makmum yang tidak berqunut sedangkan imam dihadapannya berqunut, maka makmum hendaknya mengikuti imam untuk berqunut sedangkan pendapat lain mengatakan makmum boleh hanya diam saja tetapi tetap mengikuti gerakan imam.
Ketika di posisi sebagai imam, hendaknya melihat masyarakat atau orang-orang sekitar yang akan melaksanakan shalat berjamaah. Jika dalam lingkungan tersebut menganut mazhab yang menyatakan hukum qunut adalah sunah, maka hendaknya seorang imam menghargai makmumnya dengan memberikan waktu setelah rukuk shalat shubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Maafi, Mahbub. 2013. Tanya Jawab Fikih Sehari-Hari. Jakarta: PT Grasindo.
Al-Jaziri, Syeikh Abdurrahman. 2005. Kitab Shalat Fikih Empat Mahzab. Jakarta: PT Mizan Publika.
Adam, Sulthan. 2019. Sifat Wudu dan Shalat Nabi ala Mazhab Syafi'i. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Hemdi, Yoli. 2017. Koreksi Mazhabmu!. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Piss. 2013. Pustaka Ilmu Sunni Salafitah-KTB. INDONESIA. E-BOOK.
Wahaf al-Qahthani, Sa'id bin Ali bin. 2001. Panduan Shalat Lengkap (Shalat Yang Benar Menurt al-Qur'an dan Sunah). Jakarta: Almahira.
Website:
Pwmu.co (Ketika Imam Masjid Muhammadiyah Membaca Qunut).
Konsultasislam.com (Bermakmum Kepada Imam Yang Tidak Ikut).
Suaramuslim.net (3 Macam Qunut dan Doa Qunut).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H