Sebagian orang tua cenderung menerapkan pola asuh otoriter terhadap anak remaja mereka. Tanpa mereka sadari hal tersebut memberikan dampak negative terhadap perkembangan, pola pikir, serta emosional anak remaja mereka. Pola asuh otoriter yang sangat over protektif terhadap anak bahkan dapat berpengaruh pada mental emosional sang anak. Selain itu pola asuh otoriter dapat membentuk karakter remaja menjadi sosok yang lebih tertutup memendam segala kekesalan yang dirasakanya. Remaja juga menjadi sosok yang lebih menentang terhadap kebijakan orang tua, hal tersebut karena apa yang menjadi persepsinya ditentang dan ditolak oleh orang tua mereka. Kekangan yang orang tua berikan terhadap anak remaja mereka bahkan dapat berdampak tidak baik terhadap perilaku mereka. Banyak remaja yang mencoba keluar dari permasalahan mereka dan tidak jarang dari mereka yang melarikan diri dari rumah untuk mendapatkan kebebasan dan pelarian dari kekangan orang tua mereka. Jika orang tua semakin mengekang dan melarang apa yang diinginkan anak remaja mereka, maka semakin besar  kaingin tahuan mereka terhadap apa yang dilarang. Hal tersebut yang membuat anak remaja berusaha untuk mencari tahu sendiri bahkan tidak jarang dari mereka yang terjerumus kepada hal-hal yang negative lainya (Devita, 2020).
Pada masa remaja ini juga mereka belum memiliki kematangan emosi. Kematangan emosi yang dimaksud adalah bagaimana seorang remaja dapat mengekspresikan emosi secara secara tepat dengan pengendalian diri yang benar.(Binti Muawanah, 2012). Apabila mereka belum dapat mengontrol emosi secara benar sudah pasti mereka akan mencari pelarian dari tuntutan orang tua mereka. Misalkan adalah dengan mencari perhatian sosial dengan membuat status di media sosial sebagai bentuk kekesalanya.
   Pola asuh otoriter yang cenderung mengontrol segala aktivitas anak dengan ketat,menghukum dan mendisiplinkan,serta memaksakan segala kehendaknya sebagai oran tua dapat membuat remaja menjadi agresif dan memberontak (Kurniati et al., 2019). Bahkan yang awalnya mereka hanya memberontak terhadap perlakuan orang tua kepada mereka, sikap agresif akan muncul ketika mereka berada dalam lingkungan sosial mereka.
Masa remaja juga menjadi masa yang diganakan untuk mempersiapkan masa depan mereka masa dimana mereka berhak mengambil keputusan apa yang di inginkanya. Namun, orang tua dengan pola asuh otoriter cenderung menginginkan anak remaja mereka menjadi apa yang diharapkanya. Terkadang perbedaan persepsi ini menimbulkan kesedihan kepada remaja karena tidak dapat mengemukakan apa yang mereka inginkan. Pada pola asuh otoriter pengambilan keputusan berada di bawah tuntutan orang tua sehingga anak akan merasa kecewa dengan keputusan yang tidak sesuai denga napa yang ia inginkan (Firdaus & Kustanti, 2019).
Pola asuh otoriter juga berpotensi mengurangi rasa self esteem terhadap remaja. Hal ini terjadi karena anak remaja akan beranggapan bahwa seberap keras mereka bermimpi dan berjuang untuk masa depan yang mereka inginkan jika itu bukanlah apa yang diharapkan orang gtua mereka maka akan sia-sia. Sehingga pola asuh orang tua sangat berperan besar dalam self esteem dan kecerdasan sosial remaja. Terutama pada masa remaja, hal ini karena masa remaja adalah masa dimana anak akan memasuki periode dewasa(Alfiasari et al., 2011).
Orang tua yang memiliki tuntutan besar terhadap anak mereka tanpa adanya kehangatan yang diberikan terhadap anak mereka dapat membuat anak mempunyai control yang rendah terhadap lingkungan mereka. Anak menjadi kehilangan rasa percaya diri,mudah marah,suka murung, bahkan rawan terhadap stress (Zahara, 2017).
Orang tua seharusya dapat menjadi teman bagi anak remaja mereka. Memahami apa yang ingin dilakukan oleh anak remaja mereka. Memberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat mereka dan dapat mengambil jalan tengah apabila terdapat perbedaan pendapat diantara keduanya. Orang tua juga sebaiknya menjadi pendengar yang baik untuk anak remaja mereka. Memberikan pemahaman yang baik dan benar apabila yang dilakukan salah tanpa adanya emosi dari orang tua. Sehingga keduanya dapat menumbuhkan kedekatan dan komunikasi antara orang tua dan anak (Safitri & Hidayati, 2013). Orang tua juga diharapkan memberikan pola asuh yang terbaik untuk anak-anak mereka. Sehingga berkurangnya kenakalan remaja yang menjadi dampak dari pola asuh yang kurang baik.
 Kesimpulan
Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang cenderung menuntut dan mengekang. Orang tua pada pola asuh ini memiliki kehendak dan wewenang penuh terhadap anak mereka tanpa menginginkan sang anak mengemukakan pendapat dan persepsinya. Pola asuh ini cenderung berdampak negative terhadap anak terutama anak yang sudah menginjak masa remajanya. Hal ini karena pada masa remaja, anak cenderung belum memiliki emosi yang matang dan stabil. Orang tua dengan pola asuh otoriter biasanya memiliki kekhawatiran yang berlebihan terhadap sang anak sehingga membatasi ruang anak dalam melakukan apa yang ia inginkan.
      Hal ini berdampak buruk terhadap anak remaja mereka. Remaja cenderung memiliki kontrol yang rendah terhadap lingkungan mereka, remaja juga dapat kehilangan rasa percaya diri. Kekangan dan tuntutan yang diberikan oleh oran tua  juga dapat menimbulkan sikap agresif dan memberontak. Sehingga sang anak mencari tempat pelarian yang mereka rasa dapat menenangkan mereka. Pelarian yang dilakukan oleh remaja tersebut macam-macam, bisa dengan rokok,kabur dari rumah,mencurahkan isi hatinya melalui status media sosial,dan lain sebagainya. Sikap orang tua dengan pola asuh otoriter juga dapat mengurangi kehangatan antara orang tua dan anak.
      Orang tua seharusnya dapat menjadi teman dan sumber ketenangan dan kenyamanan untuk anaknya. Seharusnya mereka dapat menjadi pendengar yang baik untuk anak mereka. Setiap perbedaan pendapat dan pertentangan yang dilakukan oleh sang anak seharusnya orang tua dapat mengambil jalan tengah bukan memutuskan wewenang sepihak. Dengan car aini maka akan tumbuhnya kehangatan antara anak dan orang tua. Orang tua juga diharapkan memberikan pola asuh yang tepat terhadap anak agar tidak menimbilkan dampak buruk kepada anak mereka.