Penulis:Â
Regita Cahyani Badar, Syifa Azzahra, Muthmainnah Ibrahim
Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Gorontalo
Pernahkah kalian bertanya-tanya mengapa warna biru sering diasosiasikan dengan laki-laki dan merah muda dengan perempuan? Atau mengapa ada pekerjaan yang dianggap lebih cocok untuk pria dan lainnya untuk wanita? Semua ini berkaitan dengan apa yang kita sebut gender. Gender bukan hanya tentang perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat melihat dan memperlakukan mereka.
Jadi, apa itu gender? Gender adalah cara kita memahami perilaku, peran, dan aktivitas yang dianggap cocok untuk pria dan wanita dalam suatu budaya. Setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda tentang peran gender (Berry, et al 1992). Misalnya, dalam banyak budaya tradisional, pria sering dianggap sebagai pencari nafkah utama, sementara wanita diharapkan mengurus rumah tangga dan anak-anak. Namun, seiring waktu, pandangan ini mulai berubah. Kini, banyak wanita yang bekerja di berbagai bidang profesional, sementara pria juga terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Ini menunjukkan bahwa norma-norma gender bisa berubah (Maharani, dkk 2020).
Untuk memahami gender lebih baik, kita perlu tahu beberapa istilah penting. Pertama adalah seks, yang merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, seperti alat reproduksi dan kromosom. Ini adalah hal yang tidak bisa diubah. Kedua adalah peran seksual, yaitu norma-norma sosial yang menentukan perilaku apa yang dianggap sesuai bagi pria dan wanita. Misalnya, banyak orang berpikir bahwa pria harus kuat dan wanita harus lembut. Terakhir adalah identitas seksual, yaitu bagaimana seseorang memahami dirinya sendiri dalam konteks seksualitas, termasuk siapa yang mereka sukai atau bagaimana mereka ingin dikenali.
Dalam kehidupan sehari-hari, hubungan antara gender dan budaya sangatlah rumit. Budaya mempengaruhi cara kita memandang gender, tetapi juga dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam peran gender itu sendiri. Misalnya, dalam masyarakat yang lebih setara (egaliter), peran pria dan wanita cenderung lebih seimbang. Pria tidak lagi dilihat sebagai satu-satunya pencari nafkah, begitu pula wanita tidak hanya terbatas pada urusan rumah tangga. Satu contoh nyata dari perubahan ini adalah semakin banyaknya wanita yang berkarir di bidang yang sebelumnya didominasi oleh pria, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, dan olahraga. Di sisi lain, pria juga semakin banyak yang terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin menerima bahwa semua orang bisa melakukan berbagai peran tanpa terikat oleh jenis kelamin mereka.
Ada dua pendekatan utama tentang gender: pendekatan tradisional dan pendekatan egaliter (William dan Best, 1990). Pendekatan tradisional mempertahankan peran gender berdasarkan norma-norma lama. Dalam pendekatan ini, ada pembagian tugas yang jelas antara pria dan wanita. Contohnya adalah anggapan bahwa pekerjaan rumah tangga sepenuhnya menjadi tanggung jawab wanita, sedangkan pria bertugas mencari nafkah di luar rumah. Di sisi lain, pendekatan egaliter menekankan kesetaraan antara pria dan wanita. Dalam pendekatan ini, peran tidak lagi ditentukan oleh jenis kelamin melainkan oleh minat dan kemampuan individu. Misalnya, jika seorang pria ingin menjadi guru atau seorang wanita ingin menjadi insinyur, mereka seharusnya bisa mengejar impian tersebut tanpa merasa tertekan oleh norma-norma gender.
Ketegangan antara pendekatan tradisional dan egaliter menunjukkan bagaimana masyarakat mencoba menyeimbangkan nilai-nilai lama dengan kebutuhan untuk beradaptasi terhadap perubahan zaman (William dan Best, 1990). Misalnya, jika orang masih berpikir bahwa wanita harus mengurus rumah tangga saja, maka hal ini bisa menghalangi mereka untuk mengejar karir profesional. Sebaliknya, jika masyarakat mendukung pendekatan egaliter, maka semua orang dapat berkontribusi secara setara di berbagai bidang kehidupan tanpa dibatasi oleh jenis kelamin mereka.
Terdapat penelitian terbaru tentang gender yang menunjukkan bahwa dalam budaya yang lebih ketat seperti masyarakat agraris atau pertanian, pria cenderung lebih baik dalam tugas-tugas seperti navigasi ruang (Born et al. 2020). Di sisi lain, dalam budaya yang lebih longgar seperti masyarakat nomadik atau berburu, wanita menunjukkan keunggulan dalam keterampilan multitasking dan koordinasi (Berry et al. 2021) Ini berarti bahwa perbedaan gender tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biologis tetapi juga oleh lingkungan tempat seseorang tumbuh.
Aspek agresi atau perbedaan perilaku agresif yang ditunjukkan oleh individu berdasarkan jenis kelamin mereka juga penting untuk dibahas ketika kita berbicara tentang gender. Pria sering kali lebih terlibat dalam agresi terbuka seperti kekerasan fisik atau verbal; hal ini mungkin disebabkan oleh norma budaya yang mengaitkan agresi dengan kekuatan atau dominasi. Di sisi lain, wanita cenderung menggunakan agresi relasional seperti manipulasi sosial atau pengucilan; ini bisa jadi karena harapan sosial bahwa wanita harus menjaga hubungan interpersonal mereka (Crick dan Grotpeter, 1995).
Perubahan pandangan mengenai gender juga terlihat dalam cara orang memilih pakaian mereka saat ini. Banyak orang kini lebih memilih pakaian berdasarkan kenyamanan daripada mengikuti norma-norma gender tradisional. Misalnya, pria tidak lagi ragu mengenakan pakaian yang sebelumnya dianggap feminin sementara wanita juga sering terlihat memakai pakaian formal seperti jas. Ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin menerima ekspresi diri yang bebas dari stereotip gender.
Jadi, untuk memahami konsep tentang gender dengan baik, kita perlu melihatnya secara menyeluruh karena melibatkan interaksi antara faktor biologis, sosial, dan budaya. Dalam masyarakat modern saat ini, ada usaha untuk mencapai kesetaraan gender tanpa mengabaikan keragaman pengalaman individu. Meskipun masih ada tantangan dalam mengubah norma-norma tradisional yang sudah ada sejak lama, perubahan menuju kesetaraan menunjukkan bahwa masyarakat semakin terbuka terhadap gagasan bahwa setiap individu berhak memilih perannya sendiri berdasarkan minat dan kemampuan mereka tanpa dibatasi oleh stereotip gender.
Dengan memahami semua ini, kita bisa lebih menghargai keberagaman peran yang bisa dijalani oleh setiap orang tanpa terikat pada harapan atau anggapan tertentu hanya karena jenis kelamin mereka. Mari kita dukung satu sama lain untuk mengejar impian kita masing-masing!
Referensi :Â
Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H., & Dasen, P. R. (2021). Cross-cultural psychology: Research and applications. Cambridge University Press.
Born, M., Bleichrodt, N., & Van de Flier, H. (2020). Gender differences in cognitive abilities: A meta-analysis of recent findings. Psychological Bulletin, 146(9), 859-887.
Dayakisni, Tri, and Salis Yuniardi. PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA. 6 ed., Malang, Universitas Muhammadiyah Malang, 2022.
Maharani, R., & Suharyanto, D. A. (2020). Dinamika gender di Indonesia: Antara tradisi dan modernitas. Jurnal Sosial Humaniora, 12(1), 45-60.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI