Mohon tunggu...
Regita Andhini
Regita Andhini Mohon Tunggu... -

Ordinary Woman

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Asih dan Salman - Tawa Kita Tangis Mereka - Part 1

8 Desember 2013   02:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:11 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat kita tertawa di meja makan, seorang anak kecil menangis ingat adiknya belum jg makan. Bahkan ia pun lupa bahwa sejak pagi lehernya belum terlewati makanan. Sebut saja Asih. Anak usia kelas 6 SD yang tak lagi bersekolah sejak kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan lalu lintas saat ia berusia 9 tahun. Adiknya, Salman, yang kala itu berusia 3 tahun belum begitu paham apa arti orang tua meninggal. Iapun tak mengerti bahwa kecelakaan itu telah merenggut kedua orang tua yang tak lain satu-satunya harapannya untuk lanjutkan hidup. 7 Tahun sudah Asih dan Salman hidup di sebuah lorong menyerupai kandang burung dara di bawah jembatan tol. Ribuan hari telah mereka lalui berdua tanpa sanak dan saudara bisa membela mereka. Keserbasahajaannya dalam hidup membuatnya tak pernah ingat bahwa ibu kota ini tak selalu ramah pada anak-anak miskin tanpa keluarga seperti dirinya dan Salman. Iapun belum mampu mencerna apa itu keruwetan hidup metropolis seperti Jakarta. Hidupnya yang papa, dengan seorang adik yang masih kecil, tapa orang tua dan saudara memaksanya berpikir praktis tentang apa yang bisa dimakan untuk sekedar mengganjal perut besok pagi. Jangankan perasaan takut akan bahaya yang disimpan kota besar buat anak-seusianya, berpikir untuk makanpun sudah membuatnya sesak nafas. Maklum Asih juga tak pernah tahu apakah saudara-saudara orang tuanya masih mengingatnya ataupun tidak. Asihpun tak pernah tahu apakah saudara orang tua mereka di kampung nun jauh di blitar sana tahu bahwa ada dua mahluk kecil yang rindu kehangatan mereka. Terlebih Salman yang hari ini sedang demam tinggi. Asih yang tak bekerja tak memiliki uang untuk bawa adik semata wayangnya ke dokter. Jangankan uang, keberanianpun ia tak punya. Dokter bagi Asih adalah orang yang sangat sulit ia bayangkan mau menolong dia dan adiknya yang memang tak punya uang. Puluhan kali ia membaca cerita soal dokter ini dari sobekan koran sisa bungkus nasi yang membantunya tetap bisa membaca. Ya, Asih harus berterima kasih pada sobekan koran itu. Sebab tanpanya bisa jadi Asih akan kehilangan kemampuan membaca yang dulu ia dapatkan saat di masih sekolah. -----tobe continued--- Dishare secara bersambung melalui Facebook Fan Page : Sedekah 10 Ribu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun