Mohon tunggu...
Regina Putri Amalia
Regina Putri Amalia Mohon Tunggu... -

• FMIPA UI 2016 • Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FMIPA UI 2018 • Kepala Departemen Sosial Lingkungan HMD Geografi UI 2018

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revisi UU MD3, kenapa Kita Harus Gera(h)k?

21 Februari 2018   20:58 Diperbarui: 21 Februari 2018   21:09 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : Kompas.com

13 Februari 2018 lalu menjadi momentum paling kontroversial yang dicanangkan oleh DPR RI yang "katanya" perwakilan rakyat. Setelah kemarahan publik mereda akibat kasus korupsi megaproyek E-KTP, kini publik kembali dikejutkan dengan perubahan rancangan undang-undang no.17 tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD) menjadi undang-undang yang membuat lembaga legislatif tersebut semakin tidak tersentuh. Dalam revisi tersebut terdapat beberapa pasal yang dihapus dan beberapa mengalami perubahan. sebenarnya apa yang membuat UU MD3 ini kian jadi kontroversi? Mari kita telaah lagi bersama.

Dalam draf revisi UU MD3 tersebut sedikitnya terdapat 3 pasal yang membuat publik kembali "terheran-heran". Diantaranya adalah pasal 73 ayat 3 dan 4, pasal 122 huruf K, dan pasal 245. Hanya dalam waktu 2 hari setelah disahkan, MK telah menerima permohonan uji revisi terhadap ketiga pasal tersebut atas nama Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK).

Kejanggalan pertama ditemukan pada pasal 73 ayat 3 yang berbunyi "Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia." Serta ayat 4 yang berbunyi "Panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pimpinan DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa; b. Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a; dan c. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah di tempat domisili pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Kedua ayat dalam pasal tersebut menimbulkan kerancuan dalam aturan ketatanegaraan, sebab kewenangan pemanggilan paksa di Indonesia hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan, maupun KPK. Sedangkan wewenang DPR sebagai lembaga legislatif hanya terbatas pada penganggaran, pengawasan, dan legislasi. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan DPR sebagai lembaga perwakilannya.

Kejanggalan kedua ditemukan pada pasal 122 huruf K yang berbunyi "MKD bertugas mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR."

Dalam pasal tersebut tidak dijelaskan secara detil tindakan apa saja yang dimaksud dengan perbuatan "merendahkan" sehingga pasal ini dinilai dapat mengancam kebebasan berpendapat dan berpotensi menjadikan DPR sebagai lembaga anti-kritik sekaligus secara tidak langsung dapat merendahkan kedudukan parlemen yang notabene adalah "wakil rakyat".

Kejanggalan ketiga dapat dilihat pada pasal 245 yang berbunyi "Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan."

Pasal 245 tersebut seakan menegaskan bahwa anggota dewan memiliki hak imunitas atas dirinya dengan mendapatkan jaminan dari konstitusi. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip hukum "equality before the law" yang menjamin persamaan di muka hukum. Terlebih lagi, bunyi dari pasal 245 tersebut hanya menegaskan soal pemeriksaan dan bukan penahanan. Syarat izin persetujuan dari Mahkamah Kehormatan Dewan juga dirasa berlebihan karena dapat menjadi celah untuk menghilangkan alat bukti atau melarikan diri.

Dengan demikian, dengan disahkannya revisi UU MD3 ini secara ketatanegaraan DPR akan memiliki super power control terhadap lembaga, kelompok, ataupun perseorangan lainnya dan akan memiliki kewenangan yang semakin kuat. Jadi, sudah mulai gerah? Yuk bergerak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun