Memasuki bulan kedua Covid-19 menyerang negeri ini, menjepit hampir seluruh sektor kehidupan. Dimana semua orang harus menjaga jarak, menghindari kerumunan dan dilarang berpergian. Tertahan di rumah, tak bisa kemana-mana. Fokus bagaimana supaya tetap hidup, tetap sehat dan tetap menjalankan pekerjaan di rumah saja.
Covid-19 tidak hanya menyerang kesehatan fisik manusia, namun juga perekonomian. Bayangkan saja, hampir tidak ada lagi kegiatan yang dilakukan pekerja seni kreatif, guru les privat, usaha rental motor, usaha homestay, usaha tour travel, pedagang kaki lima, usaha distro, tukang pijat, salon, mall, toko oleh-oleh dan lainnya. Semua lesu. Apalagi sektor wisata yang bukan kebutuhan pokok.
Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indonesia merupakan satu dari enam negara bersama Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, yang terletak dalam segitiga karang dunia (coral triangle), dengan tingkat keanekaragaman hayati terumbu karang tertinggi di dunia. Keindahan terumbu karang dan pulau-pulau di Indonesia menjadi magnet untuk para wisatawan.
Namun, pada kondisi seperti ini, berwisata di laut hanya menjadi angan-angan yang entah kapan terwujud. Suatu kebutuhan, namun bukan primer. Usaha wisata laut hampir lumpuh total. Lalu bagaimana dengan nasib orang-orang yang bekerja di sektor tersebut? para guide tour? dive guide? penyewaan alat snorkeling? pemilik penginapan tepi pantai dan semua yang terlibat? kebanyakan dirumahkan.
Perkumpulan Usaha Wisata Selam Indonesia (PUWSI) mengeluarkan press relase pada 13 April 2020 terkait hal tersebut. Survey yang dilakukan oleh PUWSI kepada anggotanya yang merupakan pelaku usaha wisata  selam, menemukan adanya permintaan pembatalan perjalanan (trip) mencapai 40% hanya dalam waktu satu bulan. Akibatnya muncul potensi penambahan jumlah pekerja yang dirumahkan. Setidaknya 25% pelaku usaha memastikan akan mengurangi jumlah tenaga kerja untuk menekan biaya operasional usaha.
Ketua umum PUWSI, Ricky Soerapoetra mengatakan agar pemerintahan seperti Kementerian Pariwisata, Kementerian LHK, Kementerian KP dan pihak terkait supaya memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha dan tenaga kerja di sektor wisata selam yang menjadi bagian dari 13 juta pekerja sektor pariwisata.
Sedangkan hasil wawancara saya dengan Zulfitri pemilik penginapan 'Joel Bungalows' di Pantai Kuala Cut, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar mengatakan setidaknya kewajiban pengusaha diberikan keringanan. Misalnya seperti pembayaran pajak, listrik, dan segala pembayaran yang berkaitan dengan kewajiban terhadap negara supaya ditangguhkan dulu sampai negara  aman dan bisa beraktifitas seperti biasa.
Padahal menurut Zulfitri, selama ini, para pengusaha sektor wisata sangat membantu negara untuk menghasilkan uang, mulai dari promosi, menjemput tamu di bandara hingga pelayanan yang maksimal, tetapi disaat mereka kritis, negara tidak terasa kehadirannya bahkan tebang pilih dalam memberikan bantuan.
Tahun 2009-2014, nilai rata-rata pertumbuhan kedatangan wisatawan mancanegara Indonesia sebesar 8,62% per tahun, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan dunia sebesar 3,47% per tahun. Kondisi ini mengindikasikan kuatnya daya tahan pariwisata Indonesia. Kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2014 (sebesar 9,4 juta wisman) serta devisa yang dihasilkan (USD 10 milyar) tersebut merupakan pencapaian tertinggi dalam perkembangan kepariwisataan nasional. Dari sisi pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara ke  Indonesia yang mencapai angka 7,2 %, angka tersebut juga lebih tinggi dari pertumbuhan dunia yang hanya mencapai 4,7% (Kemenpraf, 2013).
Sementara di dalam artikel yang ditulis Kompas.com pada 16 Januari 2020, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui Asisten Deputi Investasi Hengki Manurung menargetkan jumlah wisatawan mancanegara mencapai 17 juta pada 2020. Artinya, sektor wisata sangat berjasa besar dalam mengisi celengan negara.
Meneropong Nasib Pengusaha Wisata Usai Pandemi