Premenstrual Syndrome (PMS) adalah fenomena kesehatan yang sangat akrab bagi perempuan usia reproduksi. PMS didefinisikan sebagai kumpulan gejala fisik, emosional, dan perilaku yang muncul secara berulang menjelang menstruasi (fase luteal) dan hilang beberapa hari setelah menstruasi dimulai. Pada spektrum yang lebih berat, dikenal istilah Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD), sebuah kondisi serius yang dapat mengganggu hubungan personal maupun aktivitas profesional. Namun, urgensi apa, sih, yang membuat PMS layak untuk dibahas? Faktanya, masalah ini tidak hanya soal "drama hormonal" seperti anggapan sebagian orang. PMS berdampak nyata pada kualitas hidup perempuan, termasuk penurunan konsentrasi, gangguan komunikasi, hingga perubahan mood yang signifikan.
Berdasarkan data global, PMS dialami oleh 30–40% perempuan usia reproduksi, sementara PMDD memengaruhi sekitar 3–8% dari kelompok ini.
Lalu, bagaimana keadaan di Indonesia?
Di Indonesia sendiri, statistik menunjukkan angka yang mencemaskan. Sekitar 40% perempuan usia 14–50 tahun mengalami PMS, dengan 2–12% di antaranya merasakan gejala berat. Sebuah penelitian terhadap 259 perempuan menemukan bahwa 109 orang di antaranya mengalami PMS yang berdampak pada penurunan konsentrasi belajar dan komunikasi. Angka-angka ini menunjukkan bahwa PMS bukan sekadar masalah hormonal, melainkan isu kesehatan yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan perempuan.
Little did we know, PMS ternyata bukan sekadar soal kram perut atau mood yang naik-turun, lho!
Kondisi ini punya dampak yang lebih besar, terutama pada kesehatan mental dan fisik perempuan. Memangnya, seberapa banyak perempuan yang mengalami PMS? Berdasarkan data, sekitar 50–80% perempuan usia reproduksi mengalami gejala premenstrual, meskipun sebagian besar hanya gejala ringan. Namun, sekitar 30–40% perempuan melaporkan gejala yang cukup berat hingga membutuhkan pengobatan, dan 3–8% lainnya menghadapi Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD), kondisi yang jauh lebih serius dan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
Sayangnya, banyak perempuan memilih untuk menahan atau mengabaikan gejala PMS tanpa mencari bantuan medis. Padahal, gejala ini bisa sangat mengganggu! Biasanya, gejala PMS muncul selama seminggu terakhir fase luteal dalam siklus menstruasi dan mereda beberapa hari setelah menstruasi dimulai. Apa saja gejalanya? Mulai dari suasana hati yang tertekan, kecemasan, mudah marah, hingga perubahan suasana hati yang ekstrem. Tidak sedikit juga yang merasa kehilangan minat terhadap aktivitas favoritnya, kesulitan berkonsentrasi, dan merasa sangat lelah.
Gejala fisiknya, ada, gak?
Nah, gejala fisiknya juga tidak kalah merepotkan. Ada yang mengalami insomnia atau tidur berlebihan, nafsu makan yang berubah drastis, atau rasa nyeri seperti perut kembung dan payudara yang sakit. Kalau dibiarkan, kombinasi gejala ini bisa memengaruhi banyak aspek kehidupan, mulai dari hubungan sosial hingga produktivitas. Bayangkan, perubahan mood yang tiba-tiba bisa merusak hubungan dengan teman atau keluarga, sementara kelelahan dan sulit fokus bikin pekerjaan atau belajar jadi terganggu.
Jadi, jangan anggap remeh PMS, ya!
Kondisi ini bukan sekadar “drama hormonal” seperti anggapan banyak orang. Memahami PMS dan dampaknya adalah langkah pertama untuk membantu perempuan menghadapi dan mengelola gejala dengan lebih baik. Dukungan dari lingkungan, baik keluarga, teman, atau rekan kerja, juga sangat penting agar perempuan tidak merasa sendirian dalam perjuangan ini. Dengan perhatian yang tepat, PMS bisa dikelola, dan kualitas hidup perempuan pun tetap terjaga.
Oke! Sekarang, bagaimana cara menghadapi PMS?
Untuk menghadapi PMS sendiri, kita juga perlu untuk memahami Siklus PMS dan Hubungannya dengan Menstruasi, yaitu:
- PMS terjadi selama fase luteal dalam siklus menstruasi, yaitu 7–14 hari sebelum menstruasi dimulai. Langkahnya, yaitu:
- Di fase ini, hormon estrogen dan progesteron mengalami fluktuasi tajam, yang memicu berbagai gejala fisik dan emosional.
- Setelah menstruasi dimulai, kadar hormon stabil, dan gejala biasanya mereda.
- Meski begitu, intensitas dan jenis gejala PMS dapat berbeda-beda pada setiap perempuan.
Pola makan saat PMS, biar mengurangi rasa sakit di perut kamu!
Nah, PMS dapat tentunya dikelola dengan pola hidup sehat! Konsumsi makanan kaya serat, vitamin B6, magnesium, dan omega-3 dapat membantu menstabilkan suasana hati. Olahraga ringan seperti yoga atau jalan kaki terbukti mengurangi stres dan nyeri. Tidur cukup juga penting untuk menjaga tubuh tetap bugar. Jika gejala terlalu berat, konsultasikan dengan dokter untuk penanganan lebih lanjut, seperti terapi hormon atau obat pereda nyeri.
Fun fact tentang PMS :)
PMS sering disalahpahami, lho! Salah satu mitos adalah bahwa PMS hanya soal mood swing, padahal gejala fisik seperti nyeri dan kembung juga dominan. Olahraga yang dikira memperburuk PMS justru membantu meredakan gejala. Fakta menariknya, PMS bukan fenomena baru—catatan sejarah menunjukkan gejala ini sudah dikenal sejak zaman kuno. Yuk, lebih peduli dan bijak memahami PMS, karena ini adalah kondisi nyata yang memengaruhi kesehatan perempuan!
Pesan dari kami, nih!
Jika dipikir-pikir, PMS memang seperti paket lengkap—ada drama, ada tantangan, tapi juga ada peluang untuk lebih memahami tubuh kita sendiri. Dari fluktuasi hormon hingga dampaknya pada fisik dan mental, PMS mengajarkan kita satu hal, bahwa tubuh perempuan itu super kompleks dan luar biasa. Oleh karena itu, kalau kamu atau orang di sekitarmu sedang menghadapi PMS, yuk, jangan buru-buru menilai. Validasi perasaan itu penting! Jaga pola makan, tetap aktif, dan jangan lupa istirahat yang cukup. Kalau perlu, cari dukungan dari orang terdekat atau konsultasi ke dokter. PMS itu nyata, tapi dengan pengelolaan yang tepat, kamu tetap bisa menjalani hari-harimu dengan power penuh.
“Take care of your body; it’s the only place you have to live.” – Jim Rohn.
Yuk, cintai tubuhmu, pahami ritmenya, dan jadilah versi terbaik dirimu!
Ditulis oleh: Aurora Intan Maghfira, Clara Clarissa, Luthfia Dara, Regina Imma Nadya
Referensi
Direkvand-Moghadam, A., Sayehmiri, K., Delpisheh, A. and Kaikhavandi, S., 2014. Epidemiology of premenstrual syndrome (PMS)-a systematic review and meta-analysis study. Journal of clinical and diagnostic research: JCDR, 8(2), p.106.
Ilham, M.A., Islamy, N. and Nasution, S.H., 2023. Gangguan siklus menstruasi pada remaja: literature review. Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 5(1), pp.185-192.
Ryu, A. and Kim, T.H., 2015. Premenstrual syndrome: A mini review. Maturitas, 82(4), pp.436-440.
Yonkers, K.A., O'Brien, P.S. and Eriksson, E., 2008. Premenstrual syndrome. The Lancet, 371(9619), pp.1200-1210.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H