Mohon tunggu...
reginagraciaalexander
reginagraciaalexander Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Katolik Parahyangan

-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Efektivitas Penerapan Pajak Progresif Terhadap Ketimpangan Pendapatan di Negara Indonesia

13 Januari 2025   08:25 Diperbarui: 13 Januari 2025   08:23 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabel 1. Output Regresi Time Series EViews 13

PENDAHULUAN

Mewujudkan negara yang bebas dari ketimpangan bukan hal yang mudah. Realitanya, jika kita melihat dari kaleidoskop dunia, akan selalu ada negara yang berkondisi buruk sehingga gagal mencapai kesejahteraan yang layak dan merata dibandingkan dengan negara-negara lain yang berhasil mendekati egalitarianisme. Kondisi ini diukur dengan indeks gini (gini ratio), yakni alat untuk mengukur ketidakmerataan yang terjadi di masyarakat. Menggunakan metrik ini, dibuktikan lebih dari 80% negara di Amerika Latin dan lebih dari 50% negara di Sub-Sahara memiliki ketimpangan tinggi yang diindikasikan oleh indeks gini di atas 40, sedangkan mayoritas negara-negara di Eropa dapat mempertahankan indeks gini di bawah 40 (Fleck, 2024). Negara Indonesia sendiri berada pada urutan ke-62 dari 139 negara yang dikaji untuk ketimpangan (Hanung, 2018), didukung oleh kalkulasi Gibson (2017) bahwa 4 orang terkaya di Indonesia memiliki harta lebih dari 100 juta orang miskin. Menurut World Bank (2015), ketimpangan ini terjadi karena beberapa hal, yang pertama adalah ketimpangan peluang. Masyarakat yang lahir di negara dengan sumber daya yang terbatas atau berada di daerah konflik cenderung akan sulit untuk keluar dari gelembung nya dan bahkan tidak mengetahui bahwa mereka memiliki peluang untuk meningkatkan kualitas hidupnya, karena seumur hidupnya tidak pernah terjadi perubahan di tempat mereka tinggal. Yang kedua adalah ketimpangan pasar kerja, dengan adanya kesenjangan sejak lahir, maka seluruh orang memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan tidak berpijak pada start line yang sama, sehingga performa yang dapat dikontribusikan pun berbeda dan alhasil tidak dapat menerima imbalan yang setara. Yang ketiga adalah ketimpangan stabilitas, yang artinya ketika terjadi situasi genting seperti bencana alam atau wabah, umumnya masyarakat kaya telah memiliki pemikiran yang cukup maju untuk menyimpan aset tak berwujud (intangible asset) sehingga keamanannya terjamin dan mampu dicairkan saat dibutuhkan, sedangkan masyarakat miskin lebih rentan terhadap ancaman karena keterbatasan aset sehingga lebih terbatas pula peluangnya untuk mengamankan dirinya. Yang terakhir adalah ketimpangan pendapatan, merupakan hasil akhir dari ketiga ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat.

Ketimpangan pendapatan adalah kondisi di saat masyarakat dalam suatu negara tidak memperoleh pendistribusian pendapatan yang adil. Menurut Todaro (2015), ketimpangan pendapatan adalah perbedaan pendapatan yang dihasilkan oleh masyarakat sehingga terjadi perbedaan yang mencolok di masyarakat. Telah diketahui alasan mengapa ketimpangan pendapatan terjadi, maka tanda tanya berikutnya adalah alasan mengapa ketimpangan pendapatan terus terjadi. Acemoglu dan Robinson (2012) pernah menyatakan bahwa kesejahteraan dapat diakses oleh seluruh rakyat apabila negara memiliki institusi yang inklusif, sehingga negara mampu menjamin hak kepemilikan, kemudahan untuk mencari peluang, pasar yang memiliki daya saing, dan infrastruktur yang merata. Institusi yang inklusif dicirikan dengan pemerintah yang berprinsip untuk memanfaatkan sumber daya dengan efisien, kuat, dan tidak korup. Maka, ditarik bahwa kunci dari kesejahteraan yang merata adalah berdirinya institusi yang inklusif di negaranya. Sayangnya, negara-negara dengan ketimpangan yang tinggi terbukti tidak memiliki institusi inklusif dan enggan menyediakan akses pembangunan manusia yang merata, contohnya seperti negara Kolombia yang berada di bawah pemerintahan korup dan akhirnya memperoleh indeks gini sebesar 54.8 (WDI, 2023). Selain dari institusi yang ekstraktif, penyebab keberlangsungan ketimpangan yang terus menerus adalah penerapan sistem ekonomi yang kapitalis. Solow dalam Taylor dan Lybbert (2020) berteori bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, maka negara perlu melakukan investasi modal setinggi-tingginya. Akan tetapi, jika banyak dari masyarakat tidak dibekali atau memiliki modal untuk berinvestasi dari awal, maka mereka tidak mampu mengakses peluang seperti demikian, sedangkan masyarakat kaya dapat terus memutarkan dan mengakumulasikan modalnya yang mengarahkannya ke perolehan pendapatan yang lebih tinggi. Teori Solow umumnya linier dengan teori produksi yang dijadikan sebagai dasar pemikiran ekonomi, yakni untuk mengefisiensikan input atau biaya serendah-rendahnya tetapi tetap mencapai output atau hasil yang tinggi. Dalam teori produksi, salah satu unsur penyusun biaya adalah pembayaran upah tenaga kerja, dan cara instan untuk mencapai hasil tinggi adalah dengan memberikan upah rendah kepada para tenaga kerja dengan tekanan produktivitas yang tinggi. Jika teori produksi ini diterapkan di bawah institusi yang ekstraktif, maka yang dihasilkan bukanlah efisiensi tetapi eksploitasi karena tidak diimbangi dengan jaminan hidup yang adil dan layak. Inilah yang sering terjadi di negara dengan ketimpangan tinggi, khususnya di negara-negara dunia ketiga atau berkembang.

Salah satu solusi untuk memecahkan masalah ketimpangan adalah dengan penerapan pajak progresif. Bastagli et al. (2012) menyatakan bahwa negara-negara maju melakukan konsolidasi fiskal berupa penerapan pajak progresif dan terbukti memiliki peran yang sentral dalam memperbaiki masalah ketimpangan. Dikarenakan didapati bahwa pengenaan pajak yang progresif pada masyarakat kaya atau masyarakat yang memperoleh pendistribusian pendapatan tinggi lebih efektif dibandingkan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk menyuntik dana bantuan kepada masyarakat miskin (Dahlan, 2022). Situasi ini yang dipercaya menjadi alasan bagi negara Indonesia untuk melakukan hal serupa, bahkan sedari tahun 1983 (Sari, 2021). Pemerintah Indonesia berkeyakinan bahwa peningkatan tarif pajak pada orang "super kaya" diharapkan dapat mengikis ketimpangan dengan mengedepankan asas ability to pay, yakni di saat sistem pajak dikatakan adil jika setiap orang membayar pajak sesuai dengan kemampuannya (Damayanti, 2023). Maka dari itu, tercatat bahwa pemerintah terus merampungkan kebijakan mengenai tingkat tarif pajak progresif setiap periode tertentu, dengan perubahan terakhir di tahun 2022. Pada tahun 2022, pajak progresif tidak lagi dikenakan kepada orang berpendapatan 50 juta rupiah per tahun, yakni dimulai pada orang berpendapatan 60 juta rupiah per tahun (setelah perhitungan PTKP) dan dikenakan tarif sebesar 5%. Lalu, pemerintah juga menambah golongan kelompok masyarakat untuk dikenakan tarif yang lebih tinggi. Yang sebelumnya tarif pajak tertinggi sebesar 30% dikenakan pada orang berpendapatan >500 juta rupiah per tahun, sekarang tarif pajak tertinggi adalah sebesar 35% dan dikenakan pada orang berpendapatan >5 miliar rupiah per tahun. Oleh karena itu, penulis ingin menguji linieritas dari teori yang berhasil diimplementasikan di negara maju serta kebijakan pemerintah dalam meningkatkan tarif pajak progresif terhadap ketimpangan pendapatan jika diterapkan pada negara berkembang seperti Indonesia.

KAJIAN LITERATUR

Nusiantari & Swasito (2019) dalam penelitiannya yang berjudul "Peran Penerimaan Pajak dalam Usaha Pemerataan Pendapatan" menggunakan 3 model ekonometrika untuk melihat pengaruh pajak langsung maupun tidak langsung di negara dengan tingkat ketimpangan pendapatan yang berbeda. Diperoleh hasil bahwa pajak tidak berdampak secara signifikan pada negara berkembang. Liyana et al. (2024) dalam penelitiannya yang berjudul "Pengaruh Pajak Daerah Terhadap Ketimpangan Pendapatan di Indonesia" menggunakan model regresi panel Fixed Effect Model untuk melihat pengaruh penerimaan pajak daerah, yang diikuti dengan variabel kontrol PDRB, belanja modal, dan jumlah penduduk Kab/Kota. Diperoleh hasil yang serupa bahwa pajak daerah belum dapat berfungsi sebagai penggerak utama untuk menekan angka ketimpangan di daerah.

METODE

Berdasarkan pencarian tersebut, maka penulis ingin turut meninjau seberapa efektif kenaikan pajak progresif dalam mengendalikan ketimpangan pendapatan di Indonesia. Studi ini menggunakan metode regresi time series yang dipraktikkan melalui EViews 13 variabel-variabel sebagai berikut:

  • Variabel pengikat: indeks gini (gini ratio) per bulan Maret dengan data bersumber dari BPS.
  • Variabel bebas: penerimaan perpajakan dari pajak penghasilan dengan data bersumber dari BPS.
  • Variabel kontrol:
    a.) Indeks pembangunan manusia (IPM) dengan data bersumber dari BPS. Hubungan yang dimiliki dengan variabel pengikat dapat dijelaskan melalui penelitian yang dilakukan oleh Lala et al. (2023) dengan hasil bahwa IPM berpengaruh secara negatif signifikan terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Sulawesi Utara.
    b.) Tingkat kemiskinan P0 dengan data bersumber dari BPS. Hubungan yang dimiliki dengan variabel pengikat dapat dijelaskan melalui penelitian yang dilakukan oleh Farhan & Sugianto (2020) dengan hasil bahwa tingkat kemiskinan berpengaruh secara negatif signifikan terhadap ketimpangan pendapatan di Pulau Jawa.
    c.) Pertumbuhan ekonomi dengan data dari World Development Indicators. Hubungan yang dimiliki dengan variabel pengikat dapat dijelaskan melalui Hipotesis Kuznets dalam Todaro & Smith (2015) bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh secara positif pada jangka pendek dan negatif signifikan pada jangka panjang terhadap ketimpangan pendapatan.

Khusus data dari BPS, provinsi Papua Barat Daya, Selatan, Tengah, dan Pegunungan belum tercatat sampai tahun 2024. Seluruh variabel mengambil data dalam kurun waktu 2013 - 2024, dengan tahun 2022 sebagai penentu dari hipotesis penelitian. Atas dasar itu, studi ini memanfaatkan variabel dummy untuk melihat perbandingan sebelum dan sesudah kenaikan tarif pajak progresif terhadap tingkat ketimpangan pendapatan di Indonesia. Model regresi yang digunakan diuraikan sebagai berikut:

GINI_RATIOt = 0 + 1PENERIMAAN_PPHt + 2INFLASI_RATA_RATAt + 3IPMt + DUMMYt

HASIL DAN PEMBAHASAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun