Masih berlakukah mitos budaya di zaman modern saat ini? Drama 1 & 3 "Siji dan Telu" yang merupakan alih wahana dari puisi "Pada Suatu Hari Nanti" karya Sapardi Djoko Damono menyampaikan makna tersendiri untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pergelaran drama dari kelas 4-C Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2021, Universitas Pendidikan Indonesia, yang tampil pada hari Rabu, 24 Mei 2023 di Gedung Amphiteater UPI diawali dengan baik. Pembawa acara membuka pergelaran secara formal dan jelas.
Sinopsis "Siji dan Telu" yang ditampilkan dalam takarir sebuah unggahan Instagram @cadudasadinata_ menunjukkan bahwa terdapat kekentalan adat dan budaya suku Jawa dalam kisah cinta "Siji & Telu". Hal ini divisualisasikan dengan properti dan aura yang ditampilkan di atas panggung bernuansa Jawa secara kental.Â
Tanggapan saya ketika membaca sinopsis adalah merasa penasaran tentang apa sebenarnya yang akan terjadi pada para aktornya. Terlebih lagi, kekreatifan kelas 4-C Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2021 yang membuat sebuah video singkat berisikan pengenalan tokoh cerita dengan gambaran sifat yang akan mereka bawakan memancing rasa penasaran saya lebih dalam lagi. Walau ada bagian video yang terpotong, tak menjadikan rasa penasaran saya terkikis.
Para aktor yang tampil pertama yakni Ajeng, Ibu Ajeng, Ayah Ajeng, Eyang Ajeng, Mbak Miyem, dan Bude Ajeng menunjukkan identitasnya sebagai orang Jawa. Pakaian dan dialek bahasanya menunjukkan secara jelas bahwa mereka asli orang Jawa. Dialek bahasa Jawa tergambar dari percakapan yang mereka lakukan seperti "matur nuwun" yang berarti "terima kasih", "cah ayu" yang berarti "perempuan cantik", "iku" yang berarti "itu", termasuk sapaan yang dipakai seperti "Eyang" untuk panggilan "Nenek", dan "Mas" untuk panggilan "Kakak laki-laki" seperti yang dikatakan Ajeng kepada Bima karena usia Bima yang lebih tua dari Ajeng.
Alur cerita berjalan dengan baik dan terstruktur. Konflik utama dalam drama ini adalah kisah cinta yang terhalang mitos suku Jawa, yakni pernikahan "Siji & Telu". Konflik berawal ketika Ajeng menceritakan bahwa dirinya tengah dekat dengan seorang penulis bernama Bima kepada keluarganya. Konflik berkembang ketika Bima, Ibunda Bima, dan Bintari sebagai adik Bima datang ke kediaman Ajeng hendak mengutarakan niatan Bima untuk melamar Ajeng.
Setelah itu, konflik puncak terjadi ketika keluarga Ajeng, khususnya Eyang Ajeng, mengetahui bahwa Bima merupakan anak pertama dan saat itu pula terkuak fakta bahwa Ajeng merupakan anak ketiga. Tanpa pikir panjang lagi, Eyang Ajeng berkata bahwa Bima harus membatalkan niatnya karena Eyang Ajeng memegang teguh apa yang leluhurnya sudah pegang yaitu tidak boleh dilaksanakan pernikahan "jilu" (siji dan telu) yakni pernikahan anak pertama dengan anak ketiga bila tidak ingin mengalami penderitaan dalam rumah tangganya kelak. Namun, perjuangan cinta antara Bima dan Ajeng tidak sampai di situ. Keduanya hendak memperjuangkan cintanya dengan cara kawin lari, menikah tanpa restu dua keluarga, dan memilih hidup sederhana asalkan keduanya tetap bersama.
Konflik turun ketika Ajeng dan Bima dengan penuh sukacita menjalani kehidupan rumah tangga. Dalam situasi ini, Bima mulai tampak melemah dan sedikit sakit-sakitan. Sampai pada konflik selesai, Bima mengembuskan napas terakhirnya dalam pangkuan Ajeng. Bima yang notabene adalah penulis menyelipkan kebahagiaan yang ia rasakan bersama Ajeng semasa ia hidup. Ia menulis surat dan menyelipkannya di buku terakhir yang ia tulis. Dalam pementasan drama, Ajeng tampak terduduk di lantai sembari membaca surat dari Bima.Â
Suara Bima dari belakang panggung yang membaca surat tersebut menggema dan mengisi pertunjukan drama yang tengah berlangsung. Keromantisan dan cinta yang Bima miliki ia tumpahkan dalam surat tersebut. Adegan ini adalah adegan paling menyentuh hati bagi para penonton, termasuk saya yang menitikkan air mata selama suara Bima membacakan surat yang dipegang Ajeng. Pementasan drama diakhiri dengan musikalisasi puisi "Pada Suatu Hari Nanti" karya Sapardi Djoko Damono.
Para aktor bermain secara totalitas. Mereka berdialog dan menonjolkan sifatnya melalui perkataan, gestur, dan tindakannya. Chemistry setiap tokohnya terjalin dengan baik, terutama Ilham Nurhusain sebagai Bima dan Kalya Nafrani Damayanti sebagai Ajeng. Selain para aktor yang bermain, tata pentas yang menakjubkan didukung oleh ragam sastra di dalamnya. Berbagai macam perasaan pun turut hadir. Drama "Siji & Telu" menawarkan kebahagiaan, candaan, kekesalan, kebingungan, romansa, amarah, sampai kesedihan.
Penyutradaraan oleh Silvia Purpitasari ini tidak kalah mengagumkan. Pemosisian para aktor hampir selalu sentral dengan proporsi yang pas di setiap adegannya, properti begitu mendukung pementasan dan yang saya kagumi adalah pemanfaatan properti yang tidak begitu banyak namun setiap propertinya tersebut sangat penting dalam mendukung jalan cerita, seperti pengaturan posisi kursi yang dipakai, tikar yang digelarkan di lantai kontrakan Ajeng dan Bima, termasuk kumpulan buku yang menunjukkan bahwa Bima merupakan seorang penulis.