Mohon tunggu...
Regina Dionne
Regina Dionne Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Say No to Hoax"

2 Desember 2018   14:27 Diperbarui: 2 Desember 2018   14:59 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halo para pembaca! Pada artikel ini, penulis akan membahas tentang penyalahgunaan perkembangan IPTEK.

Kita hidup di dunia yang modern di mana semua hal dapat kita akses melalui internet. Perkembangan teknologi tersebut pastinya membawa banyak sekali keuntungan bagi manusia. Keuntungan yang paling terlihat adalah kemudahan dalam mengakses suatu berita baru. Misalnya, ada suatu kejadian yang patut dijadikan berita, tidak butuh waktu lama untuk menerbitkan berita tersebut secara online. Tidak berhenti pada kemudahan mengakses, menyebarluaskan suatu berita atau artikel juga sangatlah mudah melalui beragam sosial media, seperti Line, Whatsapp, dan lain sebagainya.

Apakah perkembangan IPTEK hanya membawa dampak baik saja? Tentu saja tidak, banyak hal yang masih perlu diperbaiki dan masih ada juga orang-orang yang menyalahgunakan kemudahan ini.

Banyak dijumpai anak-anak muda yang sibuk sendiri dengan gadgetnya dan tidak bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Peristiwa itu menunjukkan bahwa telah tumbuh sifat individualistis pada generasi milenial yang merupakan dampak buruk dari canggihnya teknologi.

Seperti yang telah disebutkan di atas, ada sebagian orang yang menyalahgunakan perkembangan IPTEK. Hal tersebut nampak pada kasus yang sedang marak di Indonesia yaitu tentang penyebaran berita palsu atau yang lebih dikenal dengan sebutan hoax. Artikel kali ini akan lebih fokus membahas penyalahgunaan IPTEK melalui hoax.

Menurut KBBI, Hoax mengandung makna berita bohong, berita tidak bersumber. Werme (2016), mendefiniskan Fake news sebagai berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu. Hoax bukan sekedar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta.

Hoax dapat diterbitkan oleh siapa pun karena pada dasarnya setiap orang memiliki kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya. Hak tersebut juga tertulis di UUD 19945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". Namun, ada oknum yang tidak bertanggungjawab dalam berpendapat, mereka menyalahgunakan kebebasan tersebut dan jadilah hoax.

Contoh kasus yang pastinya sudah tidak asing lagi adalah kasus Ratna Sarumpaet. Kasus ini berawal dari unggahan aku Facebook yang menyebutkan tentang penganiayaan Ratna. Unggahan ini disertai sebuah tangkapan layar yang berisi dari aplikasi pesan WhatsApp pada 2 Oktober 2018 serta foto Ratna yang babak belur. Namun unggahan tersebut kini telah dihapus.

Unggahan tersebut dikonfirmasi oleh banyak politikus Partai Gerindra yang juga menambahkan bahwa Ratna dikeroyok oleh orang tak dikenal. Begitu banyaknya politikus yang membenarkan kabar tersebut menyebabkan pihak kepolisian melakukan penyelidikan.

Setelah diselidiki, diketahui bahwa Ratna tidak pernah ke rumah sakit untuk merawat lukanya dan tidak juga melapor ke Polsek. Bukannya menemukan bukti tentang penganiayaan, polisi malah menemukan transaksi Ratna di Rumah Sakit Bina Estetika. Penyelidikan lebih lanjut menemukan bahwa sebenarnya muka bengkak Ratna disebabkan oleh operasi plastik, bukan akibat dikeroyok orang.

Ratna pun akhirnya mengaku bahwa ia berbohong. Ia menjelaskan bahwa narasi pengeroyokan itu mulanya hanya disampaikan kepada anak-anaknya yang bertanya penyebab wajahnya lebam. Namun setelah lebamnya sembuh, Ratna kembali menceritakan pemukulan itu kepada Fadli Zon.

Setelah pengakuan tersebut, sejumlah pihak juga melaporkan Ratna ke polisi atas dugaan penyebaran hoax. Diantaranya adalah Farhat Abbas dan Muannas Alaidid.

Ratna pun ditangkap oleh pihak kepolisian dan dijatuhi hukuman dengan pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Selain itu, Ratna juga bakal dikenai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 28 juncto pasal 45.

Hoax tidak hanya terjadi di pemerintahan, masih banyak kasus hoax yang dilakukan oleh masyarakat awam. Pemerintah pun mengambil langkah dalam menanggulangi hoax-hoax yang beredar.

Telah ditetapkan bahwa penyebar hoax akan dikenakan hukum positif yang berarti hukum yang berlaku. Hukum tersebut tertulis dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial.

Penebar hoax di dunia maya juga bisa dikenakan ujaran kebencian yang telah diatur dalam KUHP dan UU lain di luar KUHP. Ujaran kebencian ini meliputi penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong.

Menurut data analisis Kominfo,  penyebar hoax itu bukan anak-anak muda, malah lebih cenderung orang tua berusia 45 tahun ke atas yang menyebarkan. Sebagai contoh banyak ibu-ibu yang langsung forward suatu berita yang didapat tanpa membacanya terlebih dahulu.

Mengenai hal itu, literasi teknologi menjadi salah satu tantangan bagi generasi milenial agar mereka bisa mengembangkan dan memanfaatkan dengan baik teknologi yang digunakan.

Pihak Kominfo pun optimis bahwa generasi milenial saat ini sudah cukup bisa membedakan antara berita hoax dan berita yang benar.

Sebagai pengguna media sosial, orang-orang harus selektif dalam menyebarluaskan suatu berita. Ada beberapa tips dari Kominfo yang dapat membantu untuk membedakan berita hoax :

1. Jangan mudah tertipu dengan judul yang menarik

Berita hoax seringkali menggunakan judul yang provokatif dengan tujuan agar para pembaca tertarik untuk membaca berita tersebut.

2. Mengecek situs

Pastikan berita yang dibaca diterbitkan oleh situs yang sudah terverifikasi agar terjamin kebenarannya.

3. Ikut dalam grup diskusi anti-hoax

Di media sosial sudah banyak terbentuk forum untuk memastikan kebenaran suatu berita, misalny di Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti hoax, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci.

Mari manfaatkan perkembangan IPTEK dengan benar dan menjadi orang yang cerdas dalam menyebarluaskan suatu informasi!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun