Mohon tunggu...
Giana
Giana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Seorang pelajar yang mencoba menuangkan isi pikirannya melalui tulisan. Have a nice day!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

The Ten Dash Line: Klaim sepihak China atas Laut China Selatan yang Terus-Menerus menjadi Ancaman

31 Mei 2024   23:34 Diperbarui: 1 Juni 2024   00:14 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sesuai dengan namanya, Laut China Selatan merupakan perairan yang berada di bagian selatan China. Meskipun begitu, laut ini bukan berarti milik China, karena Laut China Selatan berbatasan langsung dengan Taiwan dan banyak negara di Asia Tenggara.

Hal inilah yang membuat Laut China Selatan menjadi sangat strategis sebagai industri logistik atau jalur transportasi yang memuat perdagangan global, serta memiliki berbagai sumber daya alam mencakup cadangan gas, minyak bumi, dan ribuan jenis perikanan maupun terumbu karang.

Nilai total perdagangan yang melintasi wilayah Laut China Selatan sendiri mencapai US$3,37 triliun pada tahun 2016, termasuk 40% dari perdagangan gas alam cair (LNG) global. Serta memiliki rata-rata hampir dari 4 triliun US dolar setiap tahunnya yang setara dengan seperempat hasil pendapatan perdagangan dunia.

Awal mula konflik

Bermula pada 1953, Nine Dash Line (sembilan garis putus-putus) muncul pertama kali di atlas yang diproduksi di daratan China. Karena dalam hal ini United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang sudah disepakati dunia, dimana negara di seluruh dunia mempunyai hak memiliki batas perairan mereka hanya sepanjang 200 mil dari garis dasar pantai. 

Tentu saja, Nine-Dash Line dianggap bertentangan dengan hukum laut internasional. Karena klaim sepihak ini, China berdasarkan beranggapan masih memiliki kepemilikan sampai 900 mil Laut China Selatan dari garis pantainya (mencakup hampir 90 persen Laut China Selatan). Hal ini tentu saja membuat seluruh hak garis pantai di seluruh negara yang berbatasan langsung menjadi "tumpang-tindih" tak beraturan. 

Baru-baru ini, Kementerian Luar Negeri Tiongkok Wang Wenbin, pada tanggal 30 Agustus 2023 menerbitkan peta terbaru "kembali" dengan memberi cap resmi pada 10-Dash Line Tiongkok, yang merupakan peningkatan dari 9-Dash Line yang lama.

Jadi, bagaimana the Ten Dash Line ini dapat menjadi ancaman bagi Indonesia? 

Jika melihat pada peta yang baru diedarkan oleh China yang memuat Ten Dash Line (Sepuluh garis putus-putus), garis tersebut secara langsung bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau.

Sehingga berdasar pada klaim historis itu kapal-kapal nelayan dan kapal patroli China kerap beroperasi dan beraktivitas di wilayah ZEE Indonesia. Sesuatu yang menurut hukum laut internasional hanya diperbolehkan hanya jika mendapat izin dari negara pemilik ZEE.

Ancaman pada Laut Natuna Utara 

Ketegangan ini sudah berlangsung cukup lama, Mulai dari tahun 2016 beberapa kapal nelayan dan kapal riset China terlihat, sehingga untuk menyandingkan Nine-Dash Line China Indonesia mengganti nama ZEE pada 2017 di kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara. 

Namun tetap saja beberapa kapal nelayan dan kapal riset tersebut masih terlihat pada 2019, 2020, 2021, 2022, dan yang terakhir kapal Jia Geng melakukan misi survei di seluruh wilayah Laut Cina Selatan, termasuk Laut Natuna Utara pada periode April hingga Mei 2023. Berbagai macam upaya diplomasi pemerintah Indonesia pun sudah dilakukan, namun nyatanya hal itu tak membuahkan hasil dan tak membuat China jera.

Adanya konflik Laut China Selatan yang menyeret Perairan Natuna tentu menyebabkan stabilitas keamanan Kawasan tersebut jadi terganggu. Jalur perdagangan laut Indonesia yang melalui Laut China Selatan menjadi salah satu kunci perekonomian Indonesia. Gangguan pada jalur perdagangan ini dapat mengancam stabilitas ekonomi Indonesia dengan potensi peningkatan biaya logistik, penundaan pengiriman, dan bahkan blokade yang merugikan sektor perdagangan Indonesia yang sangat bergantung pada arus barang dan jasa melalui jalur tersebut, mengingat hubungan ekspor - impor Indonesia dengan China.

Konflik yang berkepanjangan dengan negara tetangga 

Salah satu negara yang sangat terdampak dengan hal ini adalah Filipina. Filipina sendiri telah mengajukan kasus ini terhadap China di Pengadilan Arbitrase Tetap di Den Haag pada bulan Januari 2013. Namun China menolak berpartisipasi dalam proses peradilan tersebut, dengan argumentasinya bahwa China tidak berkewajiban ikut serta, dan China pun tetap melanjutkan kegiatannya pada Laut China Selatan menurut klaimnya.

Baru-baru ini, sekitar April 2024. Ketegangan di Laut China Selatan kembali ramai dibicarakan, karena Filipina semakin geram dengan kapal angkatan laut China yang selalu memasuki kawasannya. Akhirnya Filipina bertemu dengan presiden Amerika Serikat, Joe Biden. Untuk membicarakan kembali apayang terjadi pada Laut China Selatan.

AS dan Filipina telah memiliki perjanjian pertahanan bersama sejak tahun 1951, sehingga tindakan bersama mereka saat ini hanyalah penegasan atas perjanjian pertahanan tersebut.

Pada tanggal 11 April 2024, Biden menegaskan dukungan AS, dengan menyatakan, "Setiap serangan terhadap pesawat, kapal, atau angkatan bersenjata Filipina di Laut China Selatan akan mengacu pada perjanjian pertahanan bersama kami".

Mengingat banyaknya bentrokan antara patroli angkatan laut China dengan armada penangkapan ikan negara-negara tetangga berisiko menimbulkan konflik internasional. Sehingga nantinya dikhawatirkan dapat memicu terjadinya perang antara China dengan Amerika Serikat selaku sekutu dari beberapa negara di Asia Pasifik.

Hal ini akan menjadi kemungkinan paling buruk yang akan terjadi mengingat saat ini pun, China sedang "gencar-gencarnya" menguatkan pengaruhnya di dunia Internasional, sedangkan Amerika Serikat tentu saja tidak ingin kehilangan pengaruhnya dengan semata-mata menjaga "kestabilan dan keamanan" negara sekutunya. Sehingga jika kemungkinan ini dapat terjadi, Indonesia akan terkena dampaknya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia 

Sampai saat ini, Indonesia terus berupaya mempercepat proses negosiasi kode etik atau Code of Conduct (COC) di Laut China Selatan. Inisiatif Indonesia ini melibatkan ASEAN dan China.

Sambil memperkuat kerja sama multilateral itu, Indonesia juga perlu meningkatkan pengawasan dan keamanan di wilayah ZEE terutama di Natuna Utara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun