Mohon tunggu...
Reggy Devvy
Reggy Devvy Mohon Tunggu... -

Prinsip saya hidup itu indah dan gampang, tapi sayang kita membuatnya jadi susah, berbelit-belit dan membungkusnya dengan syarat ini dan itu sesuai dengan program sosial dan mental kita.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi dan Kebudayaan Indonesia (Bagian 2)

20 Januari 2010   15:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:21 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Otonomi Daerah dan peluang untuk memerangi korupsi

Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan No.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang keduanya berlaku efektif per tanggal 1 January 2001 sebenarnya bisa dipakai sebagai alat yang efektif untuk memerangi korupsi. Tetapi harus diingat bahwa undang undang yang samapun bisa dipakai oleh aktor aktor korupsi untuk lebih memperkokoh praktek praktek KKN di daerah, jika kontrol terhadap mereka tidak di fungsikan. Namun ada beberapa bagian dari penyelengaraan negara atau pemerintahan regional yang sangat erat bersentuhan dengan kegiatan kegiatan korupsi yang masih dipegang teguh oleh pemerintah pusat seperti tertera dalam UU NO.22 pasal 7 ayat 1 dan 2 yang terdiri dari bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang termasuk diantaranya adalah sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara.

Kalau mau jujur, justru sistem administrasi negara kitalah yang paling mendesak untuk dibenahi dalam upaya memerangi korupsi. Sistem administrasi kita tidak efisien dan transparan serta mengandalkan hubungan kekeluargaan dan koncoisme yang erat, dan yang paling mendasar adalah tidak adanya mekanisme kontrol yang standard baik dari pemerintah sendiri maupun dari masyarakat.

Mekanisme kontrol yang dimaksud disini adalah suatu wadah dimana baik oleh instansi pemerintah sendiri maupun masyarakat dapat pergi kesana dan melaporkan pelayanan administrasi negara yang dinilai korup, tidak berwawasan pelayanan kepada masyarakat, dan yang terpenting adalah adanya penerapan aturan aturan yang tidak tertulis yang dibuat sendiri oleh aparat negara untuk kepentingan pribadinya dan golongan tertentu yang diterapkan berdampingan dengan aturan aturan administrasi negara yang sah.

Wadah ini kemudian menindaklanjuti laporan ini dengan jalan menyelidiki lebih lanjut dan kemudian menyebarkannya ke masyarakat umum melalui media massa, serta kemudian membawanya ke lembaga peradilan untuk di tindak lanjuti.

Salah satu contoh kecil tentang sistim administrasi negara yang diadakan secara sepihak untuk mengakomodir kepentingan golongan tertentu adalah pada saat seorang warga negara hendak memperoleh Paspor. Hal yang pertama yang harus dilakukannya adalah mengisi formulir yang sudah dikemas dalam map warna tertentu. Map ini disediakan oleh kantor imigrasi (Kanim) dan WAJIB! di beli. Aturan ini (wajib beli map dan formulir) tidak ada dalam peraturan negara tetapi telah dibuat baku oleh kantor imigrasi di seluruh Indonesia dengan dalih bahwa uang yang diterima akan disalurkan ke koperasi kantor yang bersangkutan. Pada kenyataannya formulir ini disediakan oleh negara secara cuma Cuma alias GRATIS, tetapi diwajibkan kepada masyarakat untuk membayarnya seharga antara Rp. 5,000 hingga Rp.15,000)

Membeli map beserta formulirnya adalah WAJIB bagi setiap pemohon paspor dan jasa keimigrasian lainnya. Kalaupun kemudian dibuat persyaratan bahwa formulir dan map itu wajib dibeli!, mengapa semuanya tidak dimasukkan kedalam biaya permohonan paspor yang dibayar pada loket pembayaran?, mengapa pembayaran map dan formulir dilakukan di loket yang berbeda? Anehnya, di kala kita hendak memperpanjang atau memperoleh pasport baru karena masa berlaku yang lama telah habis, prosedur yang sama, yaitu membeli map baru beserta formulirnya kembali WAJIB dilakukan. Apakah aturan ini juga berlaku bagi pemohon paspor Indonesia yang baru di luar negeri? Tidak!, di Konsulat maupun di kedutaan besar kita di negara negara Eropa, Amerika, Kanada dll., tidak memberlakukan sistem ini.

Berdasarkan contoh ini, maka pemerintah daerah dalam menyikapi UU No.22 pasal 7, dituntut untuk lebih kreatif dalam memberantas kegiatan kegiatan penyalahgunaan kekuasaan yang berlangsung di daearah otonominya. Pemerintah daerah otonom bisa dengan jelas dan tegas hanya mengacu pada peraturan yang sah dan tidak mentolerir peraturan peraturan sampingan yang dibuat dan kemudian sifat partisipasi masyarakat dibuat secara sengaja berevolusi dari suka rela menjadi WAJIB dan hanya bertujuan untuk memperkaya golongan tertentu dengan mengorbankan pelayanan masyarakat yang merupakan tanggung jawab utama pemerintah daerah otonom.

Alternatif lainnya yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah otonom dalam menyiasati kegiatan KKN ini, dalam contoh pembuatan paspor diatas, adalah melegitimasi secara eksplisit praktek pembelian map dan formulir dengan syarat bahwa pemasukan yang diperoleh harus diserahkan kepada pemerintah daerah otonom.

Pilihannya ada pada pemerintah daerah otonom sepanjang rambu rambu peningkatan pelayanan masyarakat dan pemberantasan KKN dipegang teguh. Kalau kita membiarkan saja praktek praktek sampingan dengan mangatasnamakan administrasi negara seperti contoh KANIM diatas, maka pasal 7 ayat 1 dan 2 UU N0.22 tadi akan selalu dijadikan tempat berlindung bagi para aktor aktor korupsi. Ini sama saja dengan orde baru dengan paradigma baru.

Paradigma yang dimaksudkan disini adalah suatu model atau prototipe penyalahgunaan kekuasaan yang tidak dapat disentuh baik dari segi hukum dan administrasi pemerintahan maupun dari segi retribusi ke kas daerah oleh pemerintah daerah otonom meskipun hal tersebut merusak pelayanan masyarakat. Jika ini dibiarkan terus maka dapat dikatakan bahwa pemerintah pusat adalah the Godfather para mafia KKN yang beroperasi di daerah daerah otonom.

Catatan:

Referensi tentang UU No.22 dan 25 tahun 1999 sengaja di pakai sebagai dasar tulisan, meskipun UU ini sudah mengalami revisi dan perbaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun