Mohon tunggu...
Regen wantalangi
Regen wantalangi Mohon Tunggu... Penulis - dalam hening ada renung

si tou timou tu mou tou

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perjuangan dan Jembatan Keledai Tan Malaka

19 April 2020   13:02 Diperbarui: 19 April 2020   15:58 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapakah Tan Malaka? Seringkali sosok yang satu ini dihubung-hubungkan dengan PKI yang adalah asli musuh abadi Orde Baru. Bahkan pada zaman Soekarno Tan Malaka pun perna dipenjarakan selama dua setengah tahun, melalui cabinet Sjahrir. Namun adakah Tan seorang PKI jikalau Musso pun pemimpin PKI mengejarnya dan ingin menggantungnya. 

Juga D.N Aidit mengejar Tan karena testamen politik Soekarno kepada Tan, surat wasiat ini diberikan kepada empat orang salah satunya Tan untuk mengantisipasi jika Soekarno dan Hatta tertangkap atau mati. "...jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka." Yang kemudian testamen ini dibakar sendiri oleh Soekarno.

Menguasai delapan bahasa di dunia pikiran yang cerdas dan filsafatnya yang tinggi tidaklah cukup untuk mengangkat martabat dari seorang yang tidak jelas kewarganegaraanya (hindia-Belanda) dan selama hidupnya menjadi buronan baik dari pihak nasional maupun internasional. Namun yang hari ini dikenal sebagai Bapa Republik (Tan Malaka). Entah apa yang merasuki para Bapa Pendiri Bangsa sehingga nama Tan Malaka lenyap seperti digilas zaman dan tenggelam karena politik busuk.

Dilahirkan di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Tan menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925. Dan barulah yang lain mulai menulis juga tentang Republik Indonesia. Akibat menulis buku ini beliau dikejar-kejar menjadi buronan namun melalui buku inilah banyak orang terinspirasi dalam perjuangan termasuk Soekarno yang mengutip tulisan Tan Malaka dalam pleidoinya (Indonesia menggugat).

Dari semua perjuangan yang dilakukan oleh Tan Malaka ini tidaklah lari dari semua hal dan semua ilmu yang telah dia pelajari dan kemudian terekam dalam pikirannya. Sehingga ada banyak refrensi, ada banyak metode, ada banyak taktik, ada banyak strategi yang Tan gunakan dalam hal memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul Madilog (Materialisme Dialetika dan Logika) Tan menjelaskan bahwa semua yang dia pelajari disimpannya disuatu tempat dalam otaknya yang dijulukinya sebagai "Jembatan Keledai";  AFIAGUMMI .

 "A huruf yang pertama mengandung perkataan Inggris, ialah (A)rmament. Artinya ini kekuatan udara kekuatan darat, dan laut. Masing-masing tentu mempunyai cerita sendiri dan A huruf pertama itu bisa membawa "jembatan keledai'' yang lain seperti ALS, ialah susunan huruf pada perkataan (A)ir (udara), (L)and (darat) dan (S)ea (laut) forces (tentara). Sesudah dibandingkan perkara Armament diantara kedua negeri itu, maka harus diuji perkara yang kedua, yakni Finance, terpotong oleh huruf "F''. keuangan dsb. Demikianlah AFIAGUMMI ini saja boleh jadi meminta seperempat atau setengah brosure kalau dituliskan" demikianlah jelas Tan dalam buku Madilog.

Perna suatukali Tan menulis semua refrensi buku-buku yang telah dibacanya dalam suatu catatan namun akhirnya disita oleh kepolisian Manila-Hongkong dan membuat mereka pusing selama berhari-hari ketika membaca isi dari tulisan Tan itu. Jalan satu-satunya Bagi Tan adalah menciptakan Jembatan Keledai di dalam Pikirannya sebagai lemari penyimpanan refrensi buku yang telah dibacanya.

Walaupun Tan Malaka tidak menikah oleh karena cintanya akan Indonesia Tan Malaka perna berkata; sekian banyak anak-anak muda yang ada di Indonesia Merekalah anak-anakku. Dalam sejarah Indonesia Tan perna dicatat sebagai orang yang menggerakan seluruh anak muda untuk berkumpul di lapangan Ikada (Monas). 

Namun sebelum Poeza menemukan dan menggali ciri-ciri Tan, Tan tidak dikenal sebelumnya oleh sebagian besar yang hadir dilapangan Ikada kala itu. Poeze mengambil jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. 

sumber foto merahputih.com
sumber foto merahputih.com

Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung di sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer-dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin. (Bapa Republik yang Dilupakan, hlm 2)

Namun sayangnya diakhir hidupnya Tan Malaka tidak begitu menikmati perjuangannya atas kemerdekaan yang telah dia perjuangkan dengan gigih, ditangkap pada saat beliau sedang bergrilia dibunuh dan baru-baru ini ditemukan makamnya oleh seorang Belanda yang menjadi peneliti kisah Hidup Tan Malaka selama 36 tahun yaitu  Harry Albert Poeze.

Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, "Di depan Tuhan saya seorang muslim". Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia. ((Bapa Republik yang Dilupakan, hlm 3). Sering Tan mengkritisi semua tindakan-tindakan yang tidak bijak dari para Bapa Pendiri Bangsa. Dalam tulisan-tulisannya yang tentunya didasari oleh semua yang sudah tersimpan dalam Jembatan Keledainya itu.

"Memakai jalan aljabar tidak menambah kecerdasan, di masa kita masih memanjat tingkat yang pertama sekali dalam matematika. Bisa jadi cara berpikir aljabar itu membatasi otak kita. Menjadikan kita berpikir mekanis, seperti mesin, tiada memakai penyelidikan lebih dahulu. Seperti mesin berhitung yang sekarang ini banyak dipakai begitulah jadinya otak kita" (Tan Malaka).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun