Malam itu, hujan turun deras di Kota Sorong. Jalanan lengang, dan kabut tipis mulai menyelimuti seluruh kota. Di tengah derasnya hujan, tiba-tiba terdengar sirine ambulans meraung-raung di kejauhan, semakin mendekat dan mendekat. Di sebuah pos jaga di pinggir jalan, seorang petugas medis bernama Bima memperhatikan dengan cemas. Ia menyipitkan matanya, mencoba menembus kabut untuk melihat sumber suara yang kian mendekat.
Akhirnya, ambulans itu muncul, melaju perlahan ke arah pos jaga. Anehnya, tidak ada lampu darurat menyala---hanya suara sirine yang terus menggaung. Ambulans tersebut berhenti tepat di depan pos jaga. Bima merasa sesuatu yang tidak beres. Ia mencoba mencari pengemudi atau penumpang di dalamnya, tetapi tak ada seorang pun di kursi kemudi. Kabin belakang yang biasanya digunakan untuk pasien juga terlihat kosong.
Rasa penasaran memaksanya mendekat. Ia melangkah hati-hati, berharap menemukan jawaban di balik kemisteriusan itu. Saat Bima membuka pintu depan ambulans, aroma tajam bercampur bau anyir darah menyeruak keluar, menyengat hidungnya. Pintu kabin belakang tiba-tiba terbuka sendiri, dan dari dalamnya keluar bau busuk yang lebih pekat.
Bima melangkah mundur, namun suara pelan memanggil namanya. "Bima... Tolong... kami..." Suara itu terdengar lemah, seakan berasal dari jauh, tetapi jelas memanggil namanya. Tubuh Bima mendadak dingin, dan bulu kuduknya meremang.
Bima menelan ludah, memberanikan diri mengintip ke dalam kabin belakang. Seketika, tubuhnya kaku. Di dalam kabin, terlihat bayangan samar-samar sosok-sosok berlumuran darah, seperti pasien-pasien yang pernah dibawanya di masa lalu. Wajah-wajah pucat mereka memandangnya dengan tatapan penuh duka, seolah mengharapkan bantuan.
Salah satu sosok itu berbisik, "Bima... Kenapa kau tak bisa menyelamatkan kami?" Bima tersentak. Itu adalah pasien-pasien yang pernah dibawanya namun tak bisa diselamatkan. Air mata mulai mengalir di wajahnya. Rasa bersalah yang selama ini ia kubur dalam-dalam kini menguap, menyelimuti hatinya dengan perasaan tak menentu.
Sosok-sosok itu mendekat, mengulurkan tangan ke arahnya. Tubuh Bima tak bisa bergerak, seolah tertahan oleh kekuatan tak kasatmata. Sosok terakhir yang muncul adalah seorang ibu yang meninggal saat perjalanan menuju rumah sakit. Wajahnya penuh luka, namun masih tampak raut sayu, seperti menyalahkan.
"Kenapa, Bima? Kenapa kau biarkan kami pergi begitu saja?"
Bima mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar. Ia mundur, namun langkahnya tersandung, membuatnya jatuh terduduk di jalan yang becek. Sosok-sosok itu semakin dekat, memandangnya dengan tatapan kosong. Dalam ketakutannya, Bima akhirnya menutup mata, berharap semuanya akan berakhir.
Saat ia membuka mata, ambulans itu sudah tidak ada. Hanya suara hujan yang terdengar, deras mengguyur jalanan. Bima gemetar, terengah-engah mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya. Namun satu hal yang tak bisa ia lupakan, di jalan yang basah itu masih ada bekas roda ambulans---seolah benar-benar baru saja pergi.
Sejak malam itu, setiap kali hujan deras dan jalanan sunyi, suara sirine ambulans selalu terdengar mendekat ke pos jaga. Tak ada seorang pun yang melihat siapa yang mengemudi. Bima tahu, malam itu adalah pesan untuknya. Para arwah itu tak pernah benar-benar pergi; mereka masih menunggu bantuan yang tak pernah datang.
Tamat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H