Apa benar kenaikan cukai rokok berhasil menurunkan jumlah perokok di Indonesia? Pemerintah berambisi meningkatkan harga rokok demi kesehatan, tetapi apakah hasilnya sesuai harapan? Di satu sisi, harga sebungkus rokok makin mahal, namun prevalensi perokok justru nyaris tak berkurang. Di sisi lain, sebagian pendapatan negara dari cukai habis untuk biaya kesehatan terkait rokok. Jadi, apakah kebijakan ini solusi efektif atau justru beban baru bagi masyarakat? Mari kita telusuri data, dampak ekonomi, dan pendekatan baru yang mungkin lebih tepat untuk menyelamatkan generasi muda dari bahaya rokok.
Kenaikan cukai rokok telah menjadi topik yang terus dibicarakan dan diperdebatkan di Indonesia. Tahun 2024, pemerintah kembali mengumumkan rencana untuk menaikkan tarif cukai rokok, dengan tujuan mengurangi konsumsi tembakau sekaligus meningkatkan penerimaan negara. Kebijakan ini didukung oleh Kementerian Kesehatan dan lembaga swadaya masyarakat yang memandang cukai tinggi sebagai cara efektif untuk menekan jumlah perokok, khususnya pada kalangan muda. Namun, apakah kenaikan harga rokok benar-benar efektif dalam menekan konsumsi? Ataukah justru hanya menjadi beban ekonomi bagi masyarakat tanpa dampak nyata terhadap kesehatan?
Kenaikan Cukai: Data dan Dampak Terhadap Harga.
Menurut data dari Kementerian Keuangan, sejak 2020, pemerintah secara bertahap menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) sekitar 12-14% setiap tahunnya, dengan alasan untuk mendukung program kesehatan dan mengurangi konsumsi. Tahun 2023 saja, kenaikan cukai mencapai 10%, sehingga harga rata-rata sebungkus rokok kini berada di kisaran Rp 35.000 hingga Rp 40.000 untuk rokok kretek mesin (sigaret kretek mesin/SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Kenaikan harga ini secara langsung memengaruhi daya beli masyarakat, terutama pada kelompok ekonomi menengah ke bawah yang cenderung menjadi konsumen utama produk tembakau.
Namun, meskipun harga rokok naik, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa prevalensi perokok di Indonesia tetap tinggi. Tahun 2018, sekitar 33,8% penduduk Indonesia adalah perokok aktif, dan pada tahun 2021, angka ini hanya turun sedikit menjadi 33,4%. Ini menunjukkan bahwa meskipun harga rokok terus meningkat, dampaknya terhadap penurunan jumlah perokok masih belum signifikan.
Mengapa Kenaikan Cukai Tidak Langsung Menurunkan Konsumsi?
Beberapa faktor sosial dan budaya turut memengaruhi pola konsumsi rokok di Indonesia. Rokok telah menjadi bagian dari budaya masyarakat, terutama bagi kaum laki-laki, sehingga kenaikan harga saja tidak cukup untuk mengurangi kebiasaan merokok. Penelitian dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI)Â mengungkapkan bahwa bagi banyak perokok, rokok dianggap sebagai kebutuhan pokok yang sulit ditinggalkan, meskipun harga terus meningkat. Akibatnya, beberapa perokok justru mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan lainnya, seperti makanan atau pendidikan, demi tetap bisa membeli rokok.
Selain itu, prevalensi perokok usia muda terus meningkat. Berdasarkan data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2022, sebanyak 19,2% remaja Indonesia (usia 13-15 tahun) telah mencoba merokok. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan cukai belum sepenuhnya efektif dalam menekan angka perokok baru dari kalangan anak-anak dan remaja, yang seharusnya menjadi fokus utama dalam upaya pengendalian tembakau.
Dampak Ekonomi dan Efektivitas bagi Kesehatan
Di sisi lain, kenaikan cukai rokok memang memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara. Pada tahun 2023, penerimaan cukai dari tembakau diperkirakan mencapai Rp 200 triliun, yang digunakan sebagian besar untuk mendanai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun, beban kesehatan akibat rokok tetap tinggi. Menurut Kementerian Kesehatan, biaya perawatan untuk penyakit terkait rokok, seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, dan stroke, mencapai sekitar Rp 70 triliun setiap tahunnya. Ini berarti sebagian besar pendapatan dari cukai rokok hanya mengimbangi sebagian kecil dari biaya kesehatan yang harus ditanggung negara.