"Enak juga, ya," ujarnya sambil mengembalikan gelas itu.
Aku tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa gugupku. Dia menatapku, lalu tiba-tiba mengambil ponsel yang ada di tanganku.
"Boleh, kan?" katanya sambil mulai mengetik di layar.
Aku hanya mengangguk bingung. Dia terlihat sibuk mengetik di ponselku selama beberapa detik, lalu menaruhnya kembali di meja. "Itu, aku sudah isi nomor teleponku di situ. Kalau mau ngobrol atau ketemuan lagi, hubungi saja, ya."
Aku menatap layar ponsel yang menampilkan namanya dan nomor teleponnya, dengan perasaan campur aduk yang tak bisa kugambarkan. Ia tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih lembut, seolah memberi isyarat tanpa kata.
Tak lama setelah itu, ia pamit pulang lebih dulu. Kami bertiga mengantarnya sampai ke pintu kafe, dan dia melambaikan tangan sebelum berbalik pergi. Menyisakan aku dengan perasaan yang berbeda, perasaan yang tiba-tiba muncul di balik kesederhanaan pertemuan pertama.
Temanku menepuk pundakku sambil tersenyum iseng, "Kayaknya dia ngasih kode, tuh."
Aku hanya tersenyum canggung, tak menjawab, karena dalam hatiku tahu bahwa mungkin dia benar. Pertemuan pertama itu bukan hanya sekadar perkenalan, tetapi awal dari perasaan yang tak pernah kubayangkan. Dalam hatiku ada harapan kecil, bahwa pertemuan di balik senja ini akan membawa kami pada kisah yang lebih dari sekadar teman dunia maya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H