Pendahuluan
Belum lama ini, publik kembali dibuat tercengang oleh terungkapnya kasus suap yang melibatkan tiga hakim dalam putusan bebas bagi seorang terdakwa.Â
Kasus ini memperlihatkan fenomena lama yang terus membayangi sistem hukum di Indonesia: peran "Markus" atau makelar kasus dalam pengambilan keputusan di pengadilan. Markus adalah sebutan bagi pihak yang bertindak sebagai perantara, menjajakan keadilan kepada pihak yang ingin "memperlunak" atau "menyelesaikan" kasus di luar jalur hukum.
Fenomena ini bukan sekadar potret korupsi, tetapi gambaran bagaimana uang dapat menggerogoti integritas lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan. Melalui kasus-kasus seperti ini, terlihat jelas bahwa praktik-praktik ilegal seperti suap dan kolusi dapat bersembunyi di balik wibawa institusi pengadilan.
Bagaimana Peran 'Markus' Berjalan di Balik Layar?
Peran Markus dalam tubuh pengadilan bukanlah cerita baru. Mereka biasanya bertindak sebagai jembatan antara terdakwa atau pihak terkait dengan oknum hakim yang mau "diajak bekerja sama."Â
Melalui Markus, sebuah putusan bisa "dipesan" dan dimanipulasi demi kepentingan tertentu. Mereka berperan dalam memfasilitasi pertemuan tertutup, mengatur jalur komunikasi, hingga mengatur besaran uang yang harus diberikan untuk memastikan putusan yang menguntungkan bagi klien mereka.
Salah satu modus operandi yang sering digunakan adalah memanfaatkan posisi Markus sebagai pihak yang memiliki akses khusus ke dalam tubuh pengadilan. Dengan jaringan kuat, Markus mampu mendekati oknum hakim yang rentan terhadap iming-iming uang. Tak jarang, putusan pengadilan yang seharusnya berdasarkan pada fakta dan hukum, berubah menjadi transaksi komersial di bawah meja.
Kerusakan yang Ditimbulkan oleh Fenomena Makelar Kasus
Peran Markus yang merasuk ke dalam tubuh pengadilan berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Keputusan yang seharusnya bebas dari kepentingan menjadi ternodai, dan para korban pencari keadilan kerap kali kehilangan keyakinan pada hukum. Fenomena ini bukan hanya melanggar nilai-nilai hukum, tapi juga melanggar prinsip keadilan itu sendiri.
Integritas hakim yang seharusnya menjadi teladan justru tercoreng oleh keterlibatan oknum dalam praktik-praktik yang tidak etis. Ketika hakim mudah disuap, muncul risiko bahwa pengadilan hanya menjadi alat bagi mereka yang berduit, sementara kebenaran dan keadilan hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu membayar.
Langkah Mencegah dan Memberantas 'Markus' di Tubuh Pengadilan
Membenahi fenomena Markus memerlukan pendekatan menyeluruh yang melibatkan seluruh elemen penegakan hukum. Pertama, pengawasan internal terhadap integritas hakim perlu diperketat. Sistem pengawasan yang lebih ketat, baik dari internal maupun eksternal, harus segera diterapkan agar oknum-oknum yang menyimpang dapat segera diketahui dan ditindak.
Selain itu, perlindungan terhadap whistleblower atau pihak yang berani melaporkan kasus suap juga harus diperhatikan. Mereka yang bersedia melaporkan kasus semacam ini harus dijamin keamanannya. Langkah ini bisa menjadi upaya preventif untuk meminimalisir praktik suap dan kolusi yang selama ini sulit diungkap.
Peningkatan sanksi hukum bagi para Markus dan oknum yang terlibat dalam praktik makelar kasus juga harus diberlakukan dengan lebih tegas. Hukuman yang diberikan tidak hanya sekedar hukuman fisik, tetapi juga sanksi sosial yang membuat pelaku berpikir ulang sebelum melakukan praktik serupa di masa depan.
Penutup
Kasus suap yang melibatkan hakim bukan hanya menggambarkan kegagalan individu, tetapi juga mengingatkan kita pada peran sistemik yang rentan disusupi oleh kepentingan tertentu.Â
Fenomena Markus yang menggerogoti integritas pengadilan seolah menjadi noda hitam dalam perjalanan penegakan hukum di Indonesia. Upaya memberantas fenomena ini bukanlah tugas yang mudah, tetapi menjadi satu-satunya jalan untuk mengembalikan kepercayaan publik dan menegakkan keadilan yang sejati.
Integritas hukum seharusnya menjadi fondasi dalam menjaga stabilitas sosial, dan hanya dengan menghapus Markus dari sistem peradilan, keadilan sejati bisa kita raih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H