Kemajuan teknologi saat ini telah membawa berbagai perubahan besar dalam banyak aspek kehidupan manusia, termasuk di bidang hukum. Salah satu inovasi yang semakin banyak dibahas adalah penggunaan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam proses peradilan. Beberapa negara sudah mulai menguji coba teknologi AI untuk membantu atau bahkan menggantikan sebagian peran hakim manusia. Namun, di tengah optimisme terhadap efisiensi yang ditawarkan, muncul pertanyaan penting: apakah masyarakat benar-benar siap mempercayakan keadilan kepada algoritma?
AI di Peradilan: Apa yang Ditawarkan?
Penggunaan AI dalam peradilan berpotensi mempercepat proses pengambilan keputusan, mengurangi beban kerja hakim, dan meningkatkan konsistensi putusan hukum. Di beberapa negara, sistem AI sudah mulai digunakan untuk mengolah informasi terkait kasus hukum, menganalisis preseden hukum, dan memberikan rekomendasi putusan berdasarkan data-data yang dikumpulkan.
Misalnya, di Amerika Serikat, sistem yang disebut COMPAS (Correctional Offender Management Profiling for Alternative Sanctions) digunakan untuk membantu hakim dalam menilai risiko seorang terdakwa akan melakukan pelanggaran kembali. Di Estonia, ada wacana untuk menggunakan robot hakim di kasus-kasus perdata sederhana. Dengan efisiensi waktu dan biaya yang ditawarkan, AI terlihat seperti solusi yang menjanjikan untuk memperbaiki sistem peradilan yang sering kali dianggap lambat dan birokratis.
Kontroversi: Keadilan yang Tergadaikan?
Namun, teknologi ini juga tidak lepas dari kontroversi. Salah satu kritik utama terhadap penggunaan AI dalam peradilan adalah potensi bias algoritma. AI bekerja berdasarkan data yang diberikan kepadanya, dan jika data tersebut mengandung bias---misalnya, bias rasial atau sosial---maka keputusan yang dihasilkan AI bisa tidak adil. Dalam kasus COMPAS, misalnya, terdapat tuduhan bahwa algoritma tersebut cenderung memberikan penilaian risiko yang lebih tinggi kepada terdakwa dari kalangan minoritas, meskipun tidak ada bukti yang kuat mendukung hal tersebut.
Selain itu, putusan hukum bukan hanya soal analisis data semata. Hakim manusia, meski tidak sempurna, membawa nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, pengalaman hidup, dan intuisi yang tidak dapat direplikasi oleh AI. Apakah kita siap menerima putusan yang dihasilkan oleh sebuah mesin, yang mungkin hanya fokus pada logika statistik tanpa memperhitungkan konteks sosial dan moral yang lebih luas?
Baca juga: Kembalinya Ibu NegaraApakah Hukum Adalah Sains atau Seni?