Mohon tunggu...
Romeo Saru
Romeo Saru Mohon Tunggu... Administrasi - ASN / Gemar literasi/ Kota Sorong Papua Barat Daya /

"Perbedaan antara sesuatu yang tidak mungkin dan yang mungkin, terletak pada cara berpikir seseorang" -Haryanto Kandani-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bagian 9: Di Antara Dua Pilihan

19 Oktober 2024   17:43 Diperbarui: 19 Oktober 2024   18:04 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : pixabay

Ruangan seakan beku dalam kesunyian yang mencekam. Semua mata tertuju pada Lila, menunggu jawabannya atas lamaran Adrian. Bagi Raka, momen ini terasa seperti mimpi buruk yang tak terduga. Apakah Lila akan menerimanya? pikirnya, dengan dada yang terasa semakin berat.

Lila menatap Adrian dengan ekspresi bingung. Lamaran ini begitu tiba-tiba, datang di saat yang paling tidak terduga. Ia tahu Adrian selalu perhatian, tapi tak pernah membayangkan bahwa perasaan Adrian akan berkembang sejauh ini. Lila mencoba merangkai kata-kata, tapi tenggorokannya terasa tercekat.

Adrian, masih dengan senyum penuh percaya diri, menanti jawaban Lila, sementara seluruh ruangan menahan napas.

Di sisi lain, Raka tahu bahwa jika dia tidak melakukan sesuatu sekarang, semuanya akan terlambat. Ia harus membuat keputusan---berdiam diri dan menerima kenyataan, atau mengungkapkan perasaannya yang selama ini ia simpan rapat-rapat.

Tanpa berpikir lebih lama, Raka melangkah maju ke arah Lila dan Adrian. Semua mata sekarang beralih padanya, dan bahkan Lila tampak terkejut melihat keberanian Raka mendekat.

"Maaf, Adrian," kata Raka dengan nada tegas, tetapi tidak kasar. "Sebelum Lila menjawab lamaranmu, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan."

Lila menatap Raka, matanya penuh tanda tanya, tapi juga rasa ingin tahu.

Raka berhenti di hadapan mereka berdua, lalu menatap dalam-dalam ke mata Lila. "Lila, selama kita bekerja bersama, aku tidak hanya mengagumi bakatmu atau kerja kerasmu. Lebih dari itu, aku mulai melihat sesuatu yang lebih dalam dirimu. Aku mulai merasa bahwa... aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini lagi."

Suasana semakin tegang. Adrian mulai tampak gelisah, sementara Lila tak mengalihkan pandangannya dari Raka.

"Aku tahu mungkin ini bukan waktu yang tepat," lanjut Raka, suaranya lebih lembut sekarang. "Tapi aku harus jujur padamu, Lila. Aku mencintaimu. Selama ini aku mencoba menahan perasaan ini, takut bahwa aku akan merusak apa yang kita punya. Tapi sekarang, aku tidak bisa lagi bersembunyi di balik keraguan. Aku ingin kamu tahu bahwa apa pun pilihanmu malam ini, perasaanku tetap sama."

Lila terdiam, kata-kata Raka mengguncang hatinya. Ia tidak pernah menyangka Raka akan mengungkapkan perasaannya, apalagi di saat seperti ini. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia juga merasakan hal yang sama. Setiap momen yang mereka habiskan bersama, setiap tawa, setiap percakapan, membangun sesuatu yang tidak bisa diabaikan.

Adrian, yang sebelumnya penuh percaya diri, sekarang tampak kesal. Ia tidak menyangka bahwa Raka akan maju dan mengungkapkan perasaannya di hadapan semua orang. Dengan nada tajam, Adrian berkata, "Lila, kamu tidak harus mendengarkan ini sekarang. Kita sedang berbicara tentang masa depanmu---sebuah karier, hidup yang lebih baik. Aku bisa memberimu segalanya."

Lila menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. Di hadapannya, dua pria berdiri---Adrian dengan tawaran yang menjanjikan karier yang gemilang dan stabilitas, dan Raka dengan kejujuran yang menggetarkan hatinya. Ini bukan keputusan yang mudah.

Dengan perlahan, Lila berdiri dan menatap keduanya. Ruangan masih sunyi, semua orang menunggu jawabannya.

"Adrian," kata Lila dengan nada tegas namun lembut, "aku menghargai tawaranmu. Tapi, aku tidak bisa menerima lamaranmu, baik sebagai pendamping hidup maupun sebagai asisten pribadi."

Adrian terkejut. "Kenapa, Lila? Apa karena Raka?"

Lila menggeleng pelan. "Ini bukan tentang Raka atau kamu. Ini tentang diriku sendiri. Aku butuh waktu untuk memahami apa yang benar-benar aku inginkan dalam hidup, dan aku tidak siap untuk membuat keputusan sebesar ini sekarang. Aku menghormati kamu sebagai manajer dan teman, tapi aku tidak bisa memberikan apa yang kamu minta."

Adrian terdiam, wajahnya menegang. Namun, ia tidak bisa memaksa. Dengan helaan napas berat, ia mundur dan perlahan meninggalkan ruangan, meninggalkan keheningan yang menggantung.

Lila kemudian berbalik kepada Raka, matanya penuh emosi. "Raka, aku... aku juga butuh waktu untuk memproses semua ini. Aku menghargai kejujuranmu, dan aku tidak ingin terburu-buru. Tapi aku tidak bisa menyangkal bahwa aku merasakan sesuatu yang sama seperti yang kamu katakan."

Raka tersenyum lembut, merasa lega mendengar kata-kata Lila, meskipun belum ada jawaban pasti. "Aku mengerti, Lila. Aku tidak memintamu untuk memberikan jawaban sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu bagaimana perasaanku."

Malam itu, meski penganugerahan berakhir dengan ketidakpastian, Raka merasa lebih tenang. Ia telah mengungkapkan perasaannya, dan kini, semuanya bergantung pada waktu. Apa pun yang akan terjadi selanjutnya, ia siap menghadapi, karena ia tahu bahwa cinta yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan---ia harus tumbuh secara alami.

To be Countinue.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun