Beberapa minggu setelah Raka memutuskan untuk membuka diri kepada Lila, hubungan mereka perlahan berkembang. Meski masih sering dirundung rasa ragu, Raka mulai menikmati setiap momen yang dihabiskan bersama Lila. Namun, di balik semua itu, ada kegelisahan yang tak bisa ia abaikan—perasaan bahwa ia mungkin terlalu cepat membuka diri.
Suatu sore, ketika mereka sedang duduk di kafe favorit mereka, Lila tampak lebih bersemangat dari biasanya. Mata cokelatnya berbinar-binar, dan senyum tak henti-hentinya menghiasi wajahnya.
"Aku punya kabar baik," kata Lila sambil menatap Raka dengan antusias. "Aku baru saja ditawari proyek penulisan buku!"
Raka terkejut. "Buku? Itu luar biasa, Lila. Tentang apa?"
Lila mengambil napas panjang sebelum menjelaskan. "Ini proyek besar. Sebuah penerbit ingin aku menulis buku tentang pengalaman hidup dan inspirasi di balik karya-karyaku sebagai desainer grafis. Tapi, aku ingin buku ini lebih dari sekadar tentang diriku. Aku ingin menyertakan perspektif lain—tentang kreativitas, perjalanan hidup, dan cinta."
Lila berhenti sejenak, lalu menatap Raka lebih serius. "Aku ingin kamu terlibat dalam proyek ini, Raka."
Jantung Raka berdetak lebih cepat. Terlibat? pikirnya. Di satu sisi, ini adalah kesempatan luar biasa—sebuah proyek yang bisa membawa kariernya sebagai penulis ke tingkat yang lebih tinggi. Di sisi lain, perasaan ragu yang selama ini menghantuinya kembali muncul. Sebenarnya, Raka sudah memikirkan untuk menjauh dari Lila, karena semakin dekat dengan Lila, semakin besar rasa takutnya untuk terluka lagi. Namun, tawaran ini memberinya alasan untuk tetap berada di sisinya.
"Aku tahu kamu penulis yang hebat," lanjut Lila. "Kamu bisa membantu menyusun narasi, menambahkan cerita-cerita yang lebih mendalam, dan tentu saja, menulis beberapa bab dari sudut pandangmu. Ini bisa menjadi proyek kita bersama."
Raka terdiam, mencoba meresapi tawaran itu. Keinginannya untuk menjauh dari Lila bertabrakan dengan kesempatan luar biasa yang kini ada di hadapannya. Jika dia menerima proyek ini, dia akan terikat dengan Lila untuk waktu yang lama—sebuah komitmen yang mungkin mengarah pada sesuatu yang lebih dari sekadar kerja sama profesional.
"Aku tidak tahu, Lila..." Raka akhirnya berkata, suaranya bergetar sedikit. "Aku sebenarnya berpikir untuk mengambil jarak dulu. Aku... aku masih belum yakin dengan perasaanku."
Lila menatapnya dalam-dalam, namun tidak ada tanda kekecewaan di wajahnya. "Aku mengerti, Raka. Kamu berhak merasa ragu, dan aku tidak akan memaksamu. Tapi aku juga percaya, terkadang proyek seperti ini bisa menjadi cara untuk menemukan diri kita yang sebenarnya. Mungkin, melalui tulisan, kamu bisa menyelesaikan konflik dalam hatimu."
Raka terdiam lama. Di dalam dirinya, ada konflik yang tak terelakkan. Ia ingin mengakhiri semuanya sebelum semuanya menjadi lebih rumit, namun tawaran Lila memberinya jalan keluar yang berbeda. Proyek ini mungkin bisa menjadi kesempatan untuk mengenal Lila tanpa harus terjun langsung ke hubungan yang terlalu dalam. Sebuah jalan aman, atau setidaknya, begitulah ia berpikir.
Akhirnya, setelah beberapa menit dalam keheningan, Raka mengangguk pelan. "Baik, aku akan terlibat dalam proyek ini."
Lila tersenyum lebar, dan untuk sesaat, Raka merasa lega. Dia berpikir bahwa dengan menjaga hubungan mereka tetap profesional, ia bisa mengontrol perasaannya. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan bersama Lila, semakin sulit baginya untuk menahan diri.
To be countinue....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H