Beberapa hari setelah percakapan mereka di taman, Raka terus memikirkan kata-kata Lila. Ia merasa, untuk pertama kalinya sejak hubungannya yang hancur, ada seseorang yang benar-benar mengerti apa yang ia rasakan. Namun di sisi lain, semakin besar rasa ketertarikannya pada Lila, semakin kuat pula ketakutan yang membebani pikirannya.
Pagi itu, Raka duduk di depan laptopnya, mencoba menulis. Tetapi semua usahanya sia-sia. Pikiran tentang Lila dan trauma masa lalunya saling bertubrukan, menyulitkannya untuk fokus. Ia memejamkan mata, berusaha meredakan kekacauan yang terus menggema di kepalanya.
Bayangan Aisyah kembali muncul---wajah wanita yang pernah ia cintai sepenuh hati, namun akhirnya meninggalkannya dengan begitu mudah. Pengkhianatan itu membekas begitu dalam, membuatnya takut untuk mempercayai wanita lain, apalagi merasakan cinta yang sama lagi. Setiap kali ia mencoba mendekat, rasa sakit itu muncul kembali, seolah-olah memperingatkan bahwa cinta hanya akan membawa luka.
Raka mendesah berat. Apakah aku benar-benar bisa memberi diriku kesempatan lagi? pikirnya.
Sementara itu, Lila masih sering mengirim pesan singkat, menanyakan kabarnya dan mengajak bertemu lagi. Raka ragu-ragu setiap kali menerima pesan darinya. Bagian dari dirinya ingin melanjutkan apa yang sudah mereka mulai, tetapi ada bagian lain yang mengatakan bahwa ia harus berhenti sebelum semuanya terlambat.
Di sisi lain, setiap kali ia membayangkan senyum Lila dan cara Lila mendengarkannya dengan penuh perhatian, ada perasaan hangat yang muncul. Meskipun dirinya penuh keraguan, hasrat untuk mengenal Lila lebih dalam semakin kuat, seakan-akan Lila adalah cahaya kecil di ujung lorong gelap yang selama ini ia lalui.
Akhirnya, setelah beberapa hari bergelut dengan pikiran-pikiran itu, Raka memutuskan untuk bertemu dengan Lila lagi. Ia tidak tahu bagaimana kelanjutannya, tapi satu hal yang pasti---ia harus jujur pada dirinya sendiri dan pada Lila.
Mereka bertemu di kafe yang sama seperti sebelumnya. Saat Raka melangkah masuk, Lila sudah menunggunya di sudut, tersenyum saat melihatnya datang. Ada rasa tenang dalam senyuman itu, seolah-olah Lila tahu apa yang terjadi dalam pikiran Raka tanpa perlu dijelaskan.
"Aku senang kamu datang," kata Lila dengan lembut, sambil menatap Raka penuh arti.
Raka duduk di depannya, menghela napas panjang sebelum memulai. "Lila, aku harus jujur. Sejak pertama kali kita bertemu, aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita. Tapi... aku tidak bisa mengabaikan ketakutanku. Aku pernah terluka sebelumnya, dan aku takut semua ini hanya akan berakhir sama."