Di sebuah kafe kecil di sudut kota, Raka menyesap kopi hitamnya sambil menatap hujan yang mulai turun deras. Suara rintik hujan yang menghantam jendela kafe memberikan ketenangan tersendiri, namun hari ini pikirannya terlalu penuh untuk menikmati suasana.
"Maaf, kursi ini kosong?" Suara lembut seorang wanita menyadarkannya dari lamunan. Di depannya berdiri seorang wanita dengan rambut basah dan jaket kulit hitam yang tampak kelelahan.
"Ya, tentu saja," jawab Raka sambil tersenyum, meskipun sedikit terkejut. Kafe itu hampir penuh, dan hanya ada kursinya yang tersisa. Wanita itu menghela napas lega dan duduk tanpa menunggu lebih lama.
"Terima kasih. Hujan ini benar-benar mengejutkan, dan saya tidak membawa payung," katanya sambil merapikan rambutnya yang agak berantakan.
Raka hanya mengangguk, berusaha terlihat tenang meski hatinya mulai terpikat oleh sosok asing di depannya. Ia bukan tipe orang yang mudah memulai percakapan, tetapi wanita itu tampak ramah dan santai.
"Namaku Lila, by the way," katanya sambil tersenyum.
"Raka," jawabnya singkat.
Obrolan mereka pun mulai mengalir, dari percakapan ringan tentang cuaca hingga percakapan mendalam tentang impian masing-masing. Raka merasa aneh, biasanya ia merasa canggung berbicara dengan orang asing, tetapi bersama Lila, semuanya terasa begitu alami.
Lila bercerita tentang pekerjaannya sebagai desainer grafis dan bagaimana ia suka menghabiskan waktu di kafe untuk mencari inspirasi. Sementara itu, Raka mengungkapkan kecintaannya pada menulis, sesuatu yang jarang ia bicarakan dengan orang lain.
Waktu berlalu begitu cepat. Hujan mulai reda, dan Lila melihat jam di pergelangan tangannya.