Hari Buruh Internasional atau yang lebih dikenal dengan istilah May Day merupakan hari libur nasional yang berawal dari usaha gerakan serikat buruh untuk merayakan keberhasilan ekonomi dan sosial para buruh.
Hari Buruh lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Di Indonesia, peringatan hari buruh sempat dilarang di era Presiden Soeharto, namun Hari Buruh kembali menjadi hari libur nasional saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkannya tahun 2014. Semenjak itulah peringatan hari buruh di Indonesia menjadi momentum bagi para Buruh untuk menyampaikan aspirasinya.
Peringatan Hari buruh cenderung diidentikkan dengan aksi unjuk rasa menuntut kesejahteraan para kaum buruh dimana mereka (buruh) merasa bahwa kesejahteraan mereka belum tercapai. Memang adalah hal yang benar ketika kita berbicara masalah kesejahteraan, mayoritas buruh di Indonesia masih jauh dari kata sejahtera dengan catatan bahwa yang menjadi tolok ukur kita adalah para buruh di negara maju seperti Amerika Serikat dan negara - negara di kawasan Eropa.
Namun, mari kita lihat lebih jauh apakah hanya buruh saja yang belum sejahtera di Indonesia? Tentu tidak, mayoritas masyarakat Indonesia masih jauh dari kata sejahtera. Yang perlu kita sadari adalah bahwa Pemerintah Indonesia juga saat ini sedang berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dan hal itu tidak secara spontan dapat kita rasakan. Perlahan tapi pasti Bangsa Indonesia sedang meningkatkan kualitas kesejahteraan bangsanya. Namun, hal yang sangat disayangkan, ditengah perjuangan tersebut, Bangsa Indonesia malah diterpa dengan berbagai isu provokatif yang tanpa disadari telah mengganggu konsentrasi pemerintah untuk membangun bangsa karena harus memenuhi dan menjawab teriakan rakyatnya yang terprovokasi dengan isu-isu tersebut.
Hampir setiap kebijakan pemerintah yang mengatur tentang ketenagakerjaan menimbulkan reaksi keras dari pihak buruh dengan berunjuk rasa. Padahal dengan aksi unjuk rasa juga tidak serta merta dapat mengubah kebijakan tersebut.
Adalah suatu hal yang lucu, bahwa setiap kebijakan pemerintah atau  di Indonesia ditolak dengan aksi unjuk rasa. Memang benar bahwa aksi unjuk rasa merupakan bentuk kebebasan berpendapat padahal masih banyak hal positif lain yang lebih membangun yang dapat dilakukan untuk menyampaikan aspirasi. Di Bali misalnya, dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional, para elemen buruh, perusahaan, dan pemerintah saling bersinergi melakukan kegiatan positif seperti donor darah, jalan sehat, dan apel bersama yang diselingi dengan hiburan dan pembagian door prize.
Mereka menyadari beberapa hal, yaitu pertama, pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan para buruh. Kedua, selain nasib para buruh, masih banyak PR bagi pemerintah untuk membangun bangsa ini. Ketiga, Bali merupakan wilayah pariwisata yang menjadi destinasi orang, baik dalam maupun luar negeri yang tentu akan menimbulkan persaingan yang tinggi, sehingga fokusnya adalah bukan menahan masuknya orang tetapi meningkatkan kualitas untuk bersaing dengan mereka. Karena dalam waktu yang dekat pun Indonesia akan masuk ke dalam pasar bebas dimana kualitas diri sendiri menjadi penentu nasib kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H