Ramainya pemberitaan, meme, status di media sosial dan lain sebagainya yang berkutat pada isu keagamaan dan intoleransi membuat masyarakat justru lupa apa sejatinya permasalahan yang sedang dihadapi oleh negeri ini. Permasalahan ketimpangan pembangunan yang berdampak pada kesenjangan ekonomi, permasalahan pengikisan nilai – nilai budaya yang terjadi dengan masuknya gaya hidup “orang luar” yang lebih gaul dikatakan Korean Wave,atau mungkin meningkatnya kasus penyalahgunaan narkoba yang menyerang generasi muda penerus bangsa ini.
Secara sekejap negeri ini silau akan pendaran cahaya sang tokoh – tokoh agama, politik, dan sebagainya yang menunjukkan dirinya dalam gelombang massa aksi pada ABI I, ABI II, dan ABI III yang katanya berupaya membela kepentingan umat islam. Memang secara umum, benar hal tersebut tujuannya untuk membela agama islam, menurut penulis hal tersebut sah – sah saja, namun kembali bertanya lah kepada diri kita sendiri apa iya sampai segitunya? Apa iya hal tersebut benar dan betul untuk membela agama islam(saja)?
Tanpa adanya selipan –selipan kepentingan sekelompok orang di dalamnya? Jikalau memang hal tersebut benar untuk membela islam, kenapa sekarang muncul arahan agar tidak memilih pemimpin yang beragama selain islam? Menurut penulis hal tersebut, akhirnya bermuara pada Pilkada DKI 2017.
Menyadari adanya udang di balik batu, beberapa kelompok masyarakat akhirnya sepakat untuk menolak adanya hal – hal seperti aksi tersebut yang justru menimbulkan perpecahan di masyarakat karena ujung permasalahan tersebut akhirnya menjadi sebuah Isu SARA yang harusnya kita sadari bersama betapa bahayanya permasalahan tersebut. Masih ingatkah tragedi ambon 1999-2002? Poso? Ketika permasalahan kecil dibawa ke ranah SARA maka yakin dan percaya, permasalahan tersebut akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Dalam rangka mencegah hal tersebut maka salah satu daerah dengan penduduk yang memiliki tingkat heterogenitas seperti Bali lebih memilih untuk bersatu menolak potensi munculnya konflik SARA di negeri yang kita cintai ini.
Tepatnya pada 6 Februari 2017, Ribuan warga yang tergabung dalam Komponen Rakyat Bali mendesak pemerintah untuk membubarkan organisasi masyarakat (Ormas) yang dinilai intoleran seperti Front Pembela Islam (FPI), Hisbutahrir (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
KRB sendiri terdiri dari sejumlah ormas di Bali. Seperti Perguruan Kebatinan dan Beladiri Sandhi Murti, Laskar Bali (LB), Pemuda Bali Bersatu (PBB), Baladika Bali (BB), Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Nahdlatul Ulama (NU) ada juga Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan sejumlah ormas lain itu mendesak pemerintah untuk segera membubarkan ormas Front Pembela Islam (FPI) yang dinilai sebagai ormas tidak bertoleransi kepada yang lain.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Bali sudah mampu beradaptasi dengan tingkat heterogenitas yang tinggipun, masyarakat masih bisa hidup berdampingan dengan harmonis dan penuh toleransi. Lantas mengapa daerah lain tidak bisa? Marilah kita bersama – sama bersatu untuk menjaga negeri yang kita cintai ini jangan gagal fokus, karena masih banyak hal yang harus kita lakukan untuk membangun negeri ini.
“Karena pada dasarnya mengurus sebuah negeri tidak sebercanda itu kawan”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H