Akhir tahun lalu saya menemani teman saya yang berkunjung ke Jogja untuk menghabiskan waktu libur semester sekaligus mengenang kembali masa-masa SMA kami dahulu. Yogyakarta, kota dengan berbagai banyak julukan ini mampu menarik wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Menurut orang-orang yang pernah berkunjung di Jogja, menurutnya Jogja memberikan kenangan tersendiri yang sulit untuk dilupakan. Sebagai warga kota Yogyakarta rasa kagum dan bangga muncul dalam benak saya karena kota kecil ini berhasil menunjukkan kredibilitasnya dan diakui oleh masyarakat luar kota Jogja.
Ketika berkunjung ke Jogja tidak lengkap rasannya jika belum datang ke Malioboro. Jalan Malioboro yang menjadi pusat dari kebudayaan Jogja menjadi faktor utama mengapa tempat ini tidak pernah sepi pengunjung. Oleh karena itu di hari pertama liburan kami memilih untuk menghabiskan waktu di Malioboro. Malioboro menyediakan berbagai pusat belanja kerajinan seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu (gantungan kunci, lampu hias dan lain sebagainya) juga blangkon serta barang-barang perak. Selain itu bagi wisatawan yang ingin belajar membatik ada juga beberapa tempat yang memberikan layanan khusus membatik dengan kurun waktu kurang lebih satu bulan. Setelah lelah berjalan di kawasan Maliboro, kami memilih untuk istirahat sejenak dengan makan siang di Lumpia Samijaya yang terletak di depan took Sami Jaya tepatnya di sebelah Hotel Mutiara Malioboro. Harga yang ditawarkan cukup murah yaitu Rp.4.500 untuk lumpia ayam dan Rp.5.000 untuk yang lumpia spesial.
Malam harinya kami melanjutkan perjalanan ke Alun-Alun Kidul (Alkid) yang terletak tidak jauh dari Malioboro. Disana kami menyewa kain penutup mata untuk bermain permainan tutup mata atau disebut juga permainan Masangin, dimana orang akan berjalan kearah pohon beringin kembar dengan keadaan matanya tertutup oleh kain hitam. Menurut mitos yang beredar orang yang berhasil melewati pohon beringin kembar dipercaya permintaannya  akan terkabul. Walaupun kelihatanya cukup mudah, namun banyak orang yang gagal dalam permainan ini. Menurut orang Jawa mereka yang berhasil melewati pohon beringin ini adalah mereka yang memiliki hati yang bersih dan niat baik. Â
Di hari kedua kami melanjutkan perjalanan kami ke Sentra kerajinan gerabah karena kota Yogyakarta terkenal dengan penghasil seniman dan juga pengrajin, salah satunya adalah kerajinan gerabah. Salah satu sentra kerajinan gerabah beralamat di Desa Kasongan, Kecamatan Bantul, Kabupaten Bantul yang berjarak 20 menit dari pusat kota Yogyakarta. Dimotori oleh lebih dari 300 pengrajin dan banyak tenaga kerja membuat kerajinan gerabah yang ada disini tidak diragukan lagi kualitasnya, karena penjualannya saja sudah sampai ke pasar luar negeri seperti Australia dan Eropa. Bagi wisatawan yang ingin belajar membuat keramik bisa juga mengikuti workshop yang diberikan para pengrajinnya. Disana kami mencoba belajar membuat gerabah. Saya dan teman saya merasa kesulitan karena ini pertama kalinya bagi kami membuat kerajinan gerabah, namun pengalaman membuat gerabah ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan dan jika ada kesempatan lagi kami ingin mencobanya sekali lagi.
Setelah puas berbelanja kerajinan gerabah dan belajar membuat gerabah, kami memutuskan untuk makan Gudeg. Belum puas rasanya jika berkunjung ke Jogja namun tidak mencicipi makanan legendaris yang satu ini. Salah satu Restaurant yang terkenal dengan menu Gudeg nya adalah Restaurant Manggar Manding yang beralamat di Jl. Parangtritis No.11,5, Kadibeso, Sabdodadi, Kabupaten Bantul. Manggar memiliki arti bunga kelapa yang memiliki cita rasa gurih. Keunikan lain yang terlihat di Restaurant ini adalah gaya dekorasi Restaurant yang terkesan mewah namun dikombinasikan dengan kesan Jawa natural dimana bangunan dan meja kursi yang tersedia masih menggunakan kayu. Dari segi rasa, Gudeg yang tersedia disini tidak jauh berbeda dari Gudeg biasanya, hanya saja jenis Gudeg yang tersedia disini merupakan Gudeg kering dengan proses pemasakan yang berkualitas dan harga yang terjangkau.
Di hari terakhir teman saya berada di Jogja, saya mengantarkannya untuk membeli beberapa oleh-oleh untuk dibawa pulang ke kampung halamannya di Palu, Sulawesi Tengah. Kami memutuskan untuk membeli bakpia saja karena untuk souvenir kami sudah membelinya ketika berjalan-jalan di Malioboro dan Kasongan. Salah satu toko bakpia terkenal yang ada di Jogja adalah Toko Bakpia Pathok 25 yang beralamat di Jl. AIP II KS Tubun NG I/504, desa Pathok Yogyakarta. Walaupun namaya Toko Bakpia Pathok namun disini menjual berbagai makanan khas Yogyakarta. Sementara untuk bakpianya sendiri tersedia berbagai macam isian seperti keju, kacang hijau, coklat dan lain-lain dengan harga yang cukup variatif, mulai dari Rp25.000 hingga Rp100.000.
Perjalanan wisata selama tiga hari ini sangat berkesan bagi kami, karena selain untuk mengenang kembali suasana Jogja yang kami lalui semasa SMA namun juga menjadi tempat bersenang-senang melepas penat dan juga belajar kebudayaan yang ada di Jogja. Oleh karena itu saya sangat merekomendasikan bagi orang-orang yang sedang merencanakan liburan, Jogja bisa menjadi alternatif wisata yang bisa dikunjungi. Jangan lupa juga untuk selalu mematuhi protokol kesehatan dimanapun berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H