Saya sempat membaca sepintas tulisan soal “sastra instan” di Kompasiana ini. Saya lupa itu kapan dan di akun siapa. Coretan ini tidak dimaksudkan untuk menanggapi wacana “satra instan” itu secara per se. Saya Cuma mau katakan, pengkategorian “sastra instan” mengindikasikan adanya batas-batas tertentu pada apa yang disebut “sastra”.
Saya sendiri tidak terlalu suka dengan batasan-batasan, khususnya dalam menulis puisi. Saya mau tulis suka-sukaku saja. Yang paling saya perhatikan cuma “kepatutan etis” kata-kata yang digunakan. Di luar itu? Ya, saya akan bebas-bebas saja. Maka ketika mulai menulis “puisi” untuk pertama kalinya di Kompasiana, saya merilis ocehan tentang burung “rajawali” yang menjadi inspirasiku dalam menulis:
....Rajawali....
subuh menyapa
sinar ufuk timur perlahan pancarkan auranya
menyoroti perlahan badan bumi semesta
melewati rumah pohon sang rajawali
rumah singgah sesaat tanpa hak milik
surya menerabas masuk melalui celah-celah dedaunan
lantas mengenai sosok sang rajawali
hangat suam-suam kuku menjalar bulu-bulu
perlahan merasuk daging tubuhnya
sang rajawali terjaga
mulai membuka mata menyahut pagi
sejenak meliukkan kepala arah kanan-kiri
mengepakkan sayap dan bulu-bulunya
lalu tanpa aba-aba
lepas landas menuju angkasa
meninggalkan ranting dahan tempat bertengger semalaman
menikmati langit biru nan indah
menatap keasrian alam jagat di bawah sana
ekspresikan keleluasaan langlang buana tanpa batas
seakan bertutur
aku bebas
alpa belengu dan ikatan
nir-tirai jeruji sangkar pembatas
Itulah cara hidup sosok rajawali
Intinya, saya akan bebas semauku saja untuk menulis puisi. Saya punya otonomi untuk itu. Saya punya hak untuk menciptakan gayaku sendiri. Tidak akan peduli dan patuh pada pakem-pakem penulisan puisi yang ada dalam wacana “dunia sastra”. Anda mau apa kalau saya berpendirian seperti ini.
Soal prinsip “suka-sukaku” juga tertuang dalam goresan berikut:
Kuingin Mengalir Bebas
…berpuisi…
tempatku ‘tuk daraskan rasa
ruangku ‘tuk bernarasi hati
ladangku ‘tuk meramu maksud
pijakku ‘tuk berirama ide
terasku ‘tuk berpatah sapa
jendelaku ‘tuk merenda eja
##
…melalui puisi…
kuingin bebas mengalir
berhasrat menggali imaginasi
melampaui ruang mati
meretas pedoman pongah kaku
merayap bagai air menuju muara
dinamis menari bergairah
bebas bagai rajawali
jangan kungkung aku
Kata-kata dalam puisi bagiku pesannya seperti ini:
puisi hanyalah setitik sisi diri
luapan cita bahasa dan imaginasi
ia tidak meninggalkan realita
ia adalah realita itu sendiri
puisi menjadi lapak kata
tempat orgasme rasa estetika
menelurkan isi hati dan pikiran
##
puisi bisa memanggil balik kata-kata yang sudah dilupakan
menulis menarik kembali ingatan yang sempat tidur
ia bagaikan penyelam mutiara yang turun ke kaki laut
lalu membawa balik kata-kata yang sempat tenggelam
Jadi, bagi pegiat kompasiana yang gemar menulis puisi (fiksi) Tulis saja apa mau Anda. Jangan pedulikan pakem-pakem yang menghambat kreativitas dan kebebasan kita. Anda beda pendapat dengan saya soal ini? Silahkan. Itu hak Anda…hehehehe….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H