Diplomasi rakyat Nusantara dengan bangsa asing sudah dilakukan sejak masa kerajaan, jauh sebelum muncul negara bernama Indonesia. Interaksi kerajaan-kerajaan dengan bangsa asing itu menunjukkan kemajuan peradaban Nusantara di tingkat global. Dari buku "Diplomasi Indonesia", kita bisa mengetahui bahwa terdapat tidak jenis sentuhan diplomasi.
Pertama, sentuhan diplomasi dengan kepentingan agama seperti datangnya peziarah beragama Buddha dari Tiongkok ke Kerajaan Sriwijaya, salah satu biksu yang tertarik untuk belajar di kerajaan ini adalah I-Tsing dari Tiongkok. Hal ini membuktikan bahwa Sriwijaya pernah menjadi pusat ajaran agama Buddha, khususnya di wilayah Asia Tenggara. Pembangunan Candi Borobudur yang merupakan gambaran kebudayaan India juga menjadi contoh lain. Hubungan diplomatik yang dibangun Sriwijaya dengan Nalanda di India juga bertujuan untuk memperkuat dan meluaskan ajaran Buddha di Asia.
Kedua, sentuhan diplomasi dengan kepentingan politik. Ekspedisi yang dilakukan Kerajaan Singasari ke luar Pulau Jawa pada 1275 menjadi salah satu contohnya. Kertanegara ingin memperluas hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain dan terbukti pada tahun tersebut, hubungan dengan Melayu terjalin. Kublai Khan juga beberapa kali mengirim utusannya ke Singasari, walau akhirnya terjadi invasi karena Singasari dianggap menghina Kublai Khan.
Ketiga, sentuhan dengan kepentingan perdagangan. Ini yang akan dibahas lebih lanjut pada artikel kali ini.
Banten berada pada jalur pelayaran internasional dan diperkirakan telah dikunjungi oleh berbagai bangsa pada abad pertama masehi. Wilayah ini juga melakukan kontak diplomatik dengan Belanda, dimulai pada 1596 ketika ekspedisi dagang Belanda di bawah Cornelis de Houtman dan Pieter de Keyser tiba.Â
Banten yang sedang menyiapkan penyerangan ke Palembang akhirnya bersekutu dengan pihak Belanda pada ekspedisi dagang kedua yang dipimpin oleh Jacob van Neck dengan imbalan rempah, yakni lada. Namun, siasat Van Neck untuk pergi dari Banten dengan tiga kapal bermuatan lada berhasil. Bantuan yang dijanjikan tidak turun dan hal ini meningkatkan intensitas dagang Belanda dengan Kepulauan Nusantara.
Salah satu strategi Belanda untuk 'bekerja sama' dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara terjadi pada masa pemerintahan Sultan Agung. Kisah Sultan Agung dalam melawan VOC ini telah dituangkan dalam sebuah film berjudul Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018) yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. VOC datang ke Kerajaan Mataram untuk menawarkan sebuah kerja sama ekonomi, tetapi Sultan Agung yang telah mengetahui siasat VOC ini menolak pengajuan izin dagang dan kerja sama perdagangan yang diajukan. Sikap Ario Bayu yang memerankan Sultan Agung dalam adegan ini cenderung ke arah skeptis, bahkan juga melemparkan sindiran halus pada VOC.
Sindiran ini ada dalam adegan di mana dua anggota VOC membawa senjata ketika bernegosiasi dengan Sultan Agung, beralasan perlu melindungi diri saat mengajukan permohonan izin dagang di wilayah Mataram. Namun, Sultan Agung menyita senjata yang dibawa mereka karena ia menjamin keamanan VOC ketika berada di Mataram. Penolakan Sultan Agung pada tawaran VOC ini juga tidak frontal, tetapi dengan cara yang halus.Â
Beliau mengizinkan VOC membuka perwakilan di Jepara, tetapi dengan syarat VOC dikenai pajak sejumlah 60% dari setiap penjualannya. Alasan di balik tawaran Sultan Agung ini adalah pemikiran bahwa jika Mataram mengizinkan VOC untuk berdagang dan bekerja sama dengan Mataram, kemungkinan besar mereka akan memanfaatkan rakyat pribumi untuk diperbudak. Sultan Agung tidak ingin Mataram nantinya berada di bawah kekuasaan VOC.
Pada 1628, Sultan Agung melakukan penyerangan pada VOC yang sudah menguasai Batavia dan menjadikan kota itu sebagai markas mereka. Penyerangan pertama yang dilakukan oleh rakyat Mataram gagal. Pasukan Belanda terlalu kuat dan pasukan Mataram kurang persiapan, sehingga mereka harus mundur dan beristirahat untuk memulihkan tenaga dan pasokan makan agar bisa kembali menyerang Batavia.
Salah satu faktor kekalahan Mataram dalam penyerangan pertama adalah kurangnya perbekalan makanan, sehingga dalam peristirahatan ini, mereka membangun lumbung-lumbung padi sebagai pasokan pangan. Namun, seorang mata-mata menemukan letak lumbung padi ini dan akhirnya membakar seluruh perbekalan tentara Mataram.
Pada waktu itu, kolera dan malaria sedang mewabah dan menjangkiti orang-orang, tak terkecuali tentara Mataram sendiri. Tumenggung Sura Agul-Agul yang menjadi pemimpin penyerangan akhirnya menggunakan taktik yang sama ketika sedang melawan Surabaya, yakni membendung sungai.Â
Strategi ini dilakukan karena kondisi tentara Mataram yang tidak memungkinkan untuk menyerang. Akhirnya, mereka mencemari sungai Ciliwung dengan bangkai hewan, sehingga airnya yang mengalir hingga Batavia membawa bibit penyakit dan membuat Batavia terserang wabah kolera. Wabah ini menewaskan banyak pihak Belanda, termasuk Jan Pieterszoon Coen yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.Â
Walau begitu, ada versi lain yang menyatakan bahwa JP Coen sebetulnya tewas dalam penyerangan Mataram. Kepalanya dipenggal dan dikuburkan di bahwa tangga Imogiri. Namun, sejarawan Johny Khusyairi membantah versi kedua ini dan menyatakan bahwa pemakaman JP Coen oleh Belanda digelar dengan sangat megah di pemakaman yang mewah. Lokasi pemakamannya tidak sembarangan dan sekarang menjadi Museum Wayang Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H