Mohon tunggu...
Reffi Dhinar
Reffi Dhinar Mohon Tunggu... -

Japanese Interpreter and Content Writer. Penulis novel Triangle's Destiny dan kumpulan puisi Menyulam Senja, Smart Kokila, Promise (Bentang Pustaka, ebook), blogger di wordholic.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dilema

22 Juli 2018   10:13 Diperbarui: 22 Juli 2018   10:15 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ar, kamu harus nyiapin baju yang rapi. Nanti seluruh keluarga besarku datang, kamu akan dikenalin secara resmi sama mereka." Kata-kata Riana seolah mengambang di udara. Aku tak berniat mengingatnya apalagi ingin datang ke acara mereka.

"Kalau terlalu ramai begitu, aku pikir-pikir dulu." kataku.

"Please deh, Arya. Kita kan udah ngomongin ini dari sebulan lalu. Om sama tanteku datang semua. Masa kamu nggak mau? Kamu ini niat serius nggak sih?" Riana protes. Ujung-ujungnya dia turun dari mobil dan membanting pagar rumahnya dengan keras. Pasti malam ini dia tidak akan bisa kuhubungi.

Aku dan Riana bertunangan dua bulan lalu. Acaranya sederhana saja, hanya ada kedua orang tua Riana dan Kak Ardi yang didampingi istrinya di sebuah ruangan khusus rumah makan. Aku yang menggagas acara itu. Mataku membasah teringat Ibu yang wafat setahun lalu dan Ayah yang malah telah dipanggil Tuhan dua puluh tahun sebelumnya.

"Apa aku pernah minta kamu  hal yang aneh-aneh, Ar? Meski kamu nggak pernah mau diajak ngerayain Valentine karena bagimu itu childish  atau ngasih aku mawar walau tahu itu bunga favoritku, aku nggak pernah protes. Aku cuman minta satu. Kuharap kamu bisa datang ke perayaan Imlek keluarga besarku."  Ujar Riana setelah mendengar penolakanku pertama kalinya sebulan lalu.

Sekelebat kulihat warna merah di mana-mana. Dekorasi mal tak ada yang luput dari merah. Perutku mual, pandanganku berkunang-kunang. Kutepikan mobil di sudut jalan yang lumayan lengang. Tidak, aku tidak akan mau datang ke acara Riana. Dan siksaan baru dimulai. Bayangan warna merah itu akan berubah menjadi genangan darah Ayah yang tewas di depan rumah. Warna yang selalu mengingatkanku pada trauma.

Ditemukan seorang simpatisan Partai Merah tewas dibacok di depan rumahnya. Diduga karena ada persaingan dukungan calon legislatif maka kasus ini terjadi. (Headline surat kabar  yang kalimatnya terekam di otakku hingga kini).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun