“Maya-chan, kau ada di sini? Dari tadi aku sudah mencari-carimu, rupanya kamu malah bersembunyi di sini.” Tanaka-kun mengejutkanku dengan suara bassnya,”ya, ini memang tempat favoritmu. Jadi, kamu mau memberiku cokelat tidak?” godanya.
Aku menyambutnya dengan senyum lebar,”Ini, dark chocolate ini memang untukmu, Tanaka-kun,” sergahku dalam satu tarikan nafas.
Tanpa pernyataan cinta, Tanaka-kun pasti sudah tahu apa maksudku. Dengan tersenyum jenaka, ia membuka bungkus cokelat lalu mengunyahnya perlahan.
“Selamat menempuh hidup baru, Tanaka-kun,” ujarku.
Mata Tanaka-kun melotot. Kedua tangannya memegang leher seperti sedang kesakitan. Dalam hitungan detik, tubuh jangkungnya jatuh menyisakan gelepar serta mulut berbusa.
“Bagaimana rasanya? Aku tidak perlu menunggu white day untuk mengetahui jawabanmu,” kataku tenang, sembari menyeret tubuh itu ke gudang perlengkapan.
Ini adalah cokelat penentu. Dan hasil akhirnya bukanlah Tanaka-kun yang menentukan, melainkan aku. Aku juga tak akan lupa dengan percakapan Takeru-senpai dengan Tanaka-kun beberapa hari lalu di lorong kampus, tanpa sadar jika aku sedang menguping di balik pintu laboratorium.
“Kamu sudah tidur dengan Maya-chan? Bagaimana rasanya? Rasa perempuan Indonesia apakah mantap?” Takeru-senpai memulai obrolan.
“Rasanya? Ah sulit dikatakan. Bisa dibilang kalau Maya-chan itu tergila-gila padaku,”sahut Tanaka-kun.
“Kalau dia memberimu cokelat di hari val day, apa responmu?”
“Lihat saja jawabannya di waktu white day, bisa saja dia kujadikan kekasih, bisa jadi hanya kujadikan teman kencan. Lagipula, dia juga ikut menikmati bukan?”